Mengangkat Fashion yang Beretika

Beberapa tahun belakangan ini, konsep Eco Design menjadi topik utama di berbagai kalangan, terutama pembangunan perumahan yang ramah lingkungan. Kenapa? Karena Efek Global Warming yang sudah semakin parah dan berdampak besar bagi kelangsungan hidup dan kehidupan mahluk di alam semesta ini.
Eco design atau juga biasa disebut dengan green design sebagai suatu gerakan untuk melakukan penyelamatan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan peningkatan kualitas hidup manusia serta menyelamatkan ketersediaan sumber daya alam yang ada.


Bukan saja dalam skala pembangunan perumahan, konsep eco design juga telah lama diterapkan nenek moyang bangsa Indonesia pada tekstil khas nusantara, seperti tenunan. Bangsa Indonesia yang memiliki ratusan suku dengan adat dan budayanya, menjadikan kain sebagai satu bagian dalam unsur pelaksanaan ritual adat.
Dengan latar belakang inilah, ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil), PRCF (People, Resources, and Conservation Foundation)-Indonesia, Hivos, dan Uni Eropa menggandeng, Midian Sernat Sihombing Hutasoit atau biasa dikenal Merdi Sihombing. Perancang kenamaan Indonesia yang telah mengabdikan dirinya pada tenunan dan sangat mencintai warisan leluhur bangsa untuk mengangkat keistimewaan kain-kain tradisional bangsa kembali pada konsep eco design.

Memiliki Visi dan Misi yang sama demi keberlangsungan alam dan warisan leluhur, perancang busana berdarah Batak ini bersama lembaga yang mensponsori berkeliling nusantara untuk memberikan masukan, pembelajaran, pengalaman, dan inovasi-inovasi pada penggunaan pewarna alam. “Indonesia ini kaya segalanya. Kaya akan warisan leluhur juga kaya sumber daya alamnya. Saya baru saja dari Sambas, dan Sekadau adalah titik ke – 10 dan nanti terakhir, titik ke – 11, kami akan ke Putussibau,” katanya pada pembukaan Pelatihan Eco Design Bagi Penenun Ikat Dayak di Sekadau, 15-17 Desember 2015.

Konsep eco design yang diaplikasikan pada tenunan ikat Dayak tersebut, memakai tanaman pewarna alam. Karena selain Indonesia kaya akan sumber daya alam dengan aneka jenis tumbuhan yang berpotensi menghasilkan warna-warna, juga sebagai pencegahan pemakaian pewarna sintetis secara terus menerus oleh penenun.
Sudah umum diketahui, namun kadang sengaja diabaikan, bahwa penggunaan zat-zat pewarna kimia, apalagi diaplikasikan pada kain yang menjadi kebutuhan dasar manusia, memberikan efek negatif bagi kesehatan tubuh dalam jangka panjang.

“Pemanfaatan tanaman pewarna itu banyak, tapi saya tidak setuju kalau daun itu diambil di pohonnya. Seperti daun ketapang itu banyak diambil di pohon. Padahal daun itu untuk proses pembungaan, mereka perlu hidup juga di muka bumi. Itu bukan fashion yang beretika,” pungkasnya di depan para peserta pelatihan.
Fashion yang beretika inilah yang belum disosialisasikan di Indonesia. Menurutnya beretika itu bukan hanya pada lingkungan, tapi pada semuanya. “Di satu sisi kita menggaungkan Go Green, tapi sisi lainnya membuang-buang air dan merusak tumbuhan. Ini yang akan kita ubah, kita ganti menjadi fashion yang beretika,”tandas Merdi.
Ia mencontohkan seperti kain tradisional lama dijadikan bahan fashion. Menurutnya itu menyingkirkan kearifan lokal. “Kain dipotong-potong seenaknya. Tanpa melihat sisi motif, falsafah dan nilai kearifan lokal. Itulah yang tidak baik. Yang baik itu membuat khusus kain tenun untuk fashion tanpa merusak tatanan atu nilai yang sudah ada,” pungkasnya.

Penenun Antusias Temukan Warna Baru

Pelatihan Eco Design dengan pewarna alam yang digagas ASPPUK, PRCF Indonesia, Hivos, Uni Eropa dengan menggaet perancang nasional yang sudah mendunia, Merdi Sihombing, mendapat respon yang sangat luar biasa dari para penenun binaan PRCF Indonesia di Kabupaten Sekadau dan Kapuas Hulu.

Penggunaan tanaman pewarna yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal para penenun akan menjadi acuan tentang ketersediaan dan potensi tanaman pewarna yang akan digunakan penenun nantinya.
Tanaman pewarna merupakan satu diantara hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang banyak sekali di Indonesia dengan hutan hujan tropisnya. Melalui proses ekstraksi tumbuhan seperti daun, buah, bunga, kayu, kulit kayu, serbuk gergaji, ataupun hewan. Diantara tanaman pewarna yang umum digunakan penenun sebagai bahan pewarna alami misalnya Mengkudu/Pace, Daun Jati, Indigofera/Rengat, Secang, Sabut Kelapa, Kunyit, dan Bawang Merah. (feraissudadua.blogspot.com).

Pemanfaatan tanaman yang ada disekitar itu jugalah yang melatar belakangi diadakannya pelatihan eco design bagi penenun binaan PRCF Indonesia. Pelatihan di Kabupaten Sekadau diikuti kelompok penenun dari Kampung Ilong dan penjahit di Kota Sekadau. Jelas terlihat penenun dan penjahit mengikuti pelatihan tiga hari di Gedung Ketakketik Sekadau, sangat antusias. Terlebih ketika mereka mempraktikkan pencelupan benang ke dalam ekstraksi tanaman pewarna. “Saya Nancy dari penenun Kumpang Ilong. Ini mencelup benang di rebusan daun Tengkawang. Bagus warnanya. Kami belum pernah gunakannya,” katanya sembari mencelup-celupkan benang dalam bejana yang terdapat ektraksi daun Tengkawang.

Tak hanya nancy, penenun dan penjahit lainnya juga menunjukan ekspresi terkejut dan senang, saat menceleupkan benang ke ekstraksi tanaman pewarna lainnya. “Bagus ya. Ini dari kayu Tebelian (red : Bahasa Iban). Warnanya cokelat tua,” kata penenun lainnya usai melakukan proses fiksasi. Sebagai instruktur pelatihan eco design, Merdi meminta penenun dan tim menyiapkan tanaman sekitar, diantaranya daun Tengkawang jenis daun lebar (yang gugur), daun Sabang, Petai Cina (daun, buah, batang), daun Ketepeng/Gelinggam, daun, Kulit Buah Rambutan, Serbuk Gergaji Campuran, Serbuk Kayu Tengkawang, Kulit Buah Jengkol, Kayu Belian, daun Ketapang, daun Merkubung, daun Leban, dan daun Simpur.

Sedangkan di Dusun Kelayam, Kapuas Hulu,diikuti oleh penenun dari enan dusun dan kampung yakni Dusun Kelayam, Dusun Ngaun Keruh, Dusun Tekalong, Dusun Kelawi, Kampung Engkadan dan Kamung Sungai Long. Tanaman yang digunakan seperti daun Tengkawang, Kayu Belian, Sabut Kelapa, Petai Cina, daun Jambu Monyet, Kulit Buah Rambutan, daun Engkrebai, dan daun Ketepeng/Serugan.

Aneka warna –warni yang dihasilkan tanaman pewarna tersebut. Didahului dengan pencucian benang dengan detergent agar bulu-bulu benang terlepas dan serat benang lebih mudah menyerap air nantinya.
Kemudian benang di mordanting artinya benang direndam dengan tawas dan diamkan semalam. Pada dasarnya pewarna alam dapat untuk mewarnai semua serat tekstil yang berasal dari serat-serat alam baik tergolong serat selulosa ataupun protein. (batikberkahlestari.worpress.com).

Usai benang di mordanting semalaman, benang dapat di celup dalam bejana yang berisi ekstraksi tanaman pewarna dan dikeringkan (tidak dibawah sinar matahari langsung/bisa di dalam ruangan yang sirkulasi udara dan cahaya yang baik) . Sebaiknya proses ini dilakukan tiga kali ulangan untuk mendapatkan warna yang menarik.
Terakhir dilanjutkan dengan proses fiksasi. Proses ini untuk memperkuat warna dan merubah warna sesuai dengan jenis logam yang mengikatnya (proses penguncian warna). Tahapan ini dapat dilakukan dengan mencampurkan ektraksi tenaman pewarna dengan tawas (SO4)2, Kapur (Ca(OH)2), atau Tunjung (Fe SO4) dengan dosis yang disesuaikan.

Dari hasil fiksasi,baik yang di Kabupaten Sekadau maupun di Dusun Kelayam (Kapuas Hulu), warna yang paling dominan didapat yakni kuning pisang dari Daun Tengkawang dicampur tawas. Para penenun juga bersemangat mencelupkan benang-benang mereka kedalam ekstrak daun Tengkawang.
“Warnanya bagus e. Kuning. Belum pernah saya dapat seperti ini,” kata Yuliana Hermina, Ketua KUB Kelayam Nguji yang diikuti sorak sorai penenun lainnya sambil berebutan mencelupkan benang ke ekstrak yang sama.
Begitu juga dengan ekstrak lainnya, seperti Kulit Buah Rambutan, kayu belian dan tentunya indigofera sebagai pembanding. Di sisni indigofera tanpa proses fiksasi . Tidak dicampur dengan bahan logam lainnya. Hanya dengan gula merah yang direbus dan ditambah hydro sulfit.

Hasil Pewarnaan yang dominan yakni kuning dengan beraneka ragam kuning (Kuning tua, kuning pisang, kuning krim, dan sebagainya), Cokelat (Cokelat tua, Cokelat muda, Cokelat), Hijau (Hijau muda, Hijau tentara, hijau tua), dan abu-abu (muda, abu-abu kehitaman).  Bukan hanya para penenun yang antusias menemukan warna baru. Karena sebelumnya mereka hanya menggunakan daun Engkrebai, Rengat dan beting yang sudah mulai langka. Merdi juga ikut merasakan hal yang sama. “Seruu ya..liat warna-warnanya. Bagus-bagus. Tuh Tengkawang, bagus tuh warnanya setelah fikasasi dengan Tunjung dan Indigofera,” ungkapnya yang terlihat sibuk membantu mengarahkan ibu-ibu penenun. Merdi juga mengajarkan ibu-ibu membuat motif pada tas-tas yang dibagikan dengan teknik pencelupan pewarna alam. Dan mereka sangat terlihat suka dengan apa yang didapatnya.

Haripun semakin sore, Merdi dan tim mulai menutup acara pelatihan di Rumah Betang Dusun Kelayam. Merdi berpesan agar ibu-ibu yang telah melihat apalagi yang mengikuti pelatihan ecodesign (pewarna alam) untuk terus menadikan benang-benang tersebut dalam bentuk kain yang indah tanpa menghilangkan cirri khas suku mereka.
“Ayo ibu-ibu, kita jadikan kain tenunannya. Saya akan menggelar fashon show Juni nanti. Dan akan menampilkan kain-kain tenun dari seluruh nusantara yang saya datangi dan memakai pewarna alam. Termasuk punya ibu-ibu. Kalau bagus hasilnya tenunan ibu, saya tampilkan,” pesannya di hadapan semua penenun.

Kemudian tanaman pewarna yang sudah menghasilkan warna yang ibu sukai, bisa dipakai sebagai alternatif pewarna alam yang sebelumnya ibu-ibu pakai. Seperti engkrebai bisa diganti pakai kulit buah rambutan, atau itu tengkawang dengan kapur atau tengkawang dengan tawas dan tengkawang dengan tunjung, warnanya jadi cantik kan ibu-ibu?

Saya berterimaksih pada semua pihak yang sudah ikut dalam pelatihan ini dan uni eropa, Hivos, dan PRCF Indonesia yang telah konsen dalam hal ini. Penutupan pun diakhiri dengan foto bersama dan salam-salaman. Merdi dan rekannya kembali ke Pontianak untuk terbang ke Jakarta. Sedangkan Fasilitator PRCF masih melanjutkan tugas untuk esok harinya. (pab)