Oleh Prof Dr Ir Gusti Hardiansyah M Sc QAM IPU (Guru besar Universitas Tanjungpura Pontianak)

Pengelolaan hutan Indonesia secara tegas menganut prinsip kelestarian, baik kelestarian fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial. Ketiga aspek tersebut saling mendukung satu sama lain, semua sama pentingnya dan harus bersifat paralel dalam pengelolaan hutan. Ketidakseimbangan penerapan salah satu aspek di atas, akan menimbulkan persoalan yang akan mengganggu kelestarian hutan. Konkretnya, akumulasi persoalan tersebut pada akhirnya selalu bermuara pada terjadinya deforestasi atau degradasi hutan. Untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan yang terus menerus perlu diantisipasi dengan alat penginderaan jauh dalam mengumpulkan data secara cepat dan akurat secara terus menerus serta mampu melakukan analisis data secara cermat (Hardiansyah et al. 2019a).

Sama dengan sektor lain, kehutanan memiliki sejarah kelahiran, pertumbuhan dan perkembangannya. Sektor kehutanan pada dekade 1970-an memperoleh puncak keemasannya dimana menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. Karakteristik usahanya yang bersifat padat karya (labour intensive) berhasil menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada era puncak pertumbuhannya, tak kurang dari 4 juta orang tenaga kerja langsung dan tak langsung terserap di sektor hulu dan hilir, dengan gantungan hidup sebesar 16 juta orang. Karakter sektor kehutanan yang tidak membutuhkan input impor menjadikannya kontributor devisa net terbesar kedua dari non migas setelah Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), dengan capaian devisa sebesar US$ 7 – 8 milyar per tahun. Terakhir, peran sektor kehutanan kian substansial bagi Indonesia dengan karakteristik kemajemukan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya juga mampu mewujudkan integrasi sosial kultural di berbagai pusat-pusat pertumbuhan regional di seluruh pelosok wilayah Indoensia (Nugraha, 2008).

Sejarah perkembangan pengelolaan hutan alam Indonesia sudah diterapkan beberapa sistem silvikultur. Semua sistem ini bertujuan mencapai kelestarian dengan senantiasa menyesuaikan kondisi biofisik lahan setempat. Termasuk kondisi sosial, ekonomi dan budaya berbagai komunitas lokal. Beberapa sistem silvikultur yang pernah dicoba antara lain Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII/TPTJ), (Hardiansyah dan Ridwan, 2012a).

Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) ditetapkan berdasarkan SK. Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman Pengawasannya. TPI adalah sistem pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa pertama di Indonesia. Disebut sebagai sistem pengelolaan hutan pertama karena sejak adanya TPI ini mulai dibatasi diameter tebangan dan harus dilakukan inventarisasi tegakan tinggal.

Menurut Soekotjo (2009) beberapa faktor yang menjadi sumber kelemahan kegagalan implementasi sistem TPI. Pertama, dari sisi tata waktu. Berdasarkan aturan sistem TPI tidak terdapat pengaturan yang jelas dan konkrit terhadap tata waktu pelaksanaan setiap tahapan kegiatan sistem silvikultur tebang pilih. Kedua, lemahnya aspek pengawasan terhadap implementasi kegiatan di lapangan. Jelas, kondisi ini bertentangan dengan salah satu sasaran penerapan sistem TPI, yaitu memungkinkan diadakannya pengawasan yang efektif dan efisien. Ketiga, rendahnya aspek kepastian kawasan. Hutan di Indonesia masih memiliki dualisme pengaturan hukum, yaitu hukum adat di satu sisi dan hukum positif formal di sisi lain. Hutan adat, pada umumnya belum dinyatakan secara definitif status hukumnya.

Kondisi inilah yang hingga kini menyebabkan lemahnya kepastian kawasan hutan. Bagaimanapun, usaha di sektor kehutanan sangat dipengaruhi oleh faktor kepastian kawasan karena bersifat jangka panjang. Keempat, meskipun ketiga kelemahan di atas banyak bersinggungan dengan kewenangan pemerintah yang secara langsung maupun tidak berdampak terhadap kinerja para pengusaha HPH, namun harus tetap diakui bahwa kegagalan penerapan sistem TPI juga disebabkan karena faktor internal pengusaha HPH itu sendiri. Yaitu lemahnya komitmen untuk menerapkan secara benar setiap tahapan kegiatan sistem TPI.

Perbaikan terus dilakukan di Indonesia untuk mengelola hutan di Indonesia. Setelah sistem TPI dianggap kurang optimal selanjutnya muncul sistem lain yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). TPTI adalah sistem TPI yang disempurnakan. TPTI ini bisa disebut sebagai Ejaan Yang Disempurnakan untuk sistem pengelolaan hutan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa ilmu kehutanan di Indonesia makin berkembang sehingga metode yang lama terlihat kelemahannya dan bisa diperbaiki. Perbaikan sistem ini dapat dilihat dari tahapan pekerjaan yang mesti dilalui dalam pengelolaan areal kerja

Sistem TPTI adalah konsep yang bukan hanya cocok untuk hutan tropis Indonesia. Lebih dari itu, sistem ini juga adaptif terhadap dinamika ekonomi, ekologi dan sosial. Secara konseptual, TPTI memang memiliki kesesuaian dengan kondisi hutan alam Indonesia. Kesesuaian tersebut antara lain meliputi banyak hal. Pertama, hutan alam terdiri dari beraneka ragam jenis flora, tetapi tidak semua jenis diminati dan laku di pasaran. Kedua, pohon yang masak tebang tersebar secara acak. Ketiga, pohon-pohon di hutan alam terdiri dari berbagai macam ukuran (dari ukuran kecil sampai besar) dan kualitas kayu (ada yang utuh dan ada pula yang berlubang). Keempat, kayu yang dapat diangkut keluar hutan tanpa terpengaruh kondisi cuaca adalah jenis kayu-kayu dengan berat jenis ringan, sehingga mudah diangkut melalui jalur sungai (Soekotjo, 2009). Kelima, jenis-jenis pohon perdagangan utama di hutan alam meremajakan diri paling baik sesuai dengan kondisi alam aslinya, yaitu di dalam rumpang bukan di areal terbuka gersang seperti jenis pionir. Keenam, beberapa kation basa yang merupakan faktor pembatas dalam cadangan hara di hutan alam tidak terletak di tanah melainkan di dalam tubuh vegetasi. Jika vegetasi hutan alam ditebang habis, maka sebagian kation basa tersebut akan hilang dari ekosistem hutan. Ketujuh, sebagian besar jenis flora hutan alam masih belum diketahui manfaat ekonomisnya, dan terkadang disebut semak belukar atau gulma. Terdapat kemungkinan pada masa depan, jenis-jenis semak dapat menjadi jenis perdagangan yang penting. Guna pengamanan sumber plasma nutfah tersebut, sistem tebang pilih dinilai aman untuk diterapkan.

Setelah pengelolaan hutan alam berkembang dengan pesat di Indonesia dengan sistem TPI dan TPTI, untuk pengelolaan hutan tanaman industri dibuatlah suatu sistem baru yaitu Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Sistem ini dibuat untuk mengakomodir perkembangan industri kehutanan di Indonesia yang semakin maju dan berkembang. Termasuk mengupayakan peningkatan produktivitas hutan secara cepat dan masif.

Berdasarkan konsep pembangunan HTI dalam PP. No. 7 tahun 1990, ada beberapa tujuan yaitu menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup dan memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Pada tujuan kedua yaitu meningkatkan produktivitas lahan dan lingkungan hidup, ini menandakan bahwa areal yang boleh digunakan adalah areal yang tidak produktif.

Sistem silvikultur yang digunakan adalah Tebang Habis dengan Penanaman Kembali (Tebang Habis Permudaan Buatan). Bagi perusahaan HTI pulp dan kertas keberlanjutan perusahaan tergantung dari suplai bahan baku kayu. Adalah aneh jika ada HTI yang tidak melakukan penanaman pada areal yang sudah diberikan izin konsesinya. Memang akhir-akhir ini banyak informasi yang menyatakan bahwa izin HTI banyak diperjualbelikan oleh pemegang izin setelah kayu hasil konversi hutan alam dieksploitasi. Tentu perusahaan seperti ini melanggar izin yang sudah diberikan.

Dalam konteks perdagangan karbon secara teori kegiatan HTI bisa berpartisipasi. Bahkan secara hukum keikutsertaan HTI untuk isu perdagangan karbon diakomodir dalam Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang Tata Cara REDD dan Permenhut No. 36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Hanya saja dalam prakteknya ada hambatan teknis berupa model perhitungan penyerapan karbon pada HTI.

Selain TPI, TPTI, THPB ada lagi sistem yang diizinkan di Indonesia yaitu Sistem ini mengacu pada SK. Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 77/VIBPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 tentang Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Model Sistem Silvikultur TPTII yang meliputi 6 (enam) IUPHHK. Selanjutnya pada tahun 2007 dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang meliputi 25 Pemegang Ijin Usaha.

Shorea leprosula yang ditanam dengan sistem TPTJ di tahun 1999 (Berdiameter setinggi dada 32 cm) dan grafik  rerata pertumbuhan diameter tahun tanam 1999-2001
Shorea leprosula yang ditanam dengan sistem TPTJ di tahun 1999 (Berdiameter setinggi dada 32 cm) dan grafik rerata pertumbuhan diameter tahun tanam 1999-2001

Dalam hal penyerapan karbon, kegiatan TPTII (Silin) memiliki potensi penyerapan karbon yang besar jika dibandingkan dengan sistem TPTI dalam konteks business as usual (praktek selama ini). Potensi penyerapan karbon pada areal TPTII (Silin) selama 25 tahun sebesar 250,51 ton C/ha. Sedangkan potensi karbon pada areal TPTI pada umur 25 setelah penebangan sebesar 115,41 ton C/ha (Hardiansyah, 2011).

Jika target penurunan emisi dengan bantuan negara lain sebesar 41 % yang setara dengan 1,190 Giga ton CO2e, maka yang ditargetkan untuk sektor kehutanan dan lahan gambut sebesar 1,039 Giga ton CO2e. Ini artinya tanggungjawab sektor kehutanan sebesar 87,38% yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Target Penurunan Emisi
Target Penurunan Emisi

Jika target penurunan emisi 26% dalam Perpres ini dibandingkan potensi REDD di PT. SBK setelah umur 25 tahun tanam sebesar 4.268.939,55 ton C atau setara dengan 15.652.778,33 ton CO2, maka hanya dibutuhkan 49 HPH. Ini artinya keberadaaan HPH sangat strategis bagi Indonesia untuk ikut menurunkan emisi global (Hardiansyah, 2011). Dengan adanya beberapa studi terkait kegiatan TPTJ maka untuk implementasi TPTJ salah satu strategi jitunya melalui penguatan peran Teknik Silin pada sistem TPTJ dalam kerangka perubahan iklim melalui REDD+ (Kusuma et al. 2014).

Upaya untuk MRV karbon pohon yang tumbuh di alam atau yang ditanam oleh komunitas adat, petani kayu maupun perusahaan HPH/HTI dan perkebunan, maka telah diciptakannya alat pengukur biomassa dan karbon pohon yang telah dipatenkan, berupa Untan Biomassa Karbon Meter (UBKM) mekanis maupun digital.  Invensi tersebut berdasarkan data alometrik lokal yang merupakan hubungan antara biomassa dan karbon pohon, densitas pohon dan diameter pohon. Keutamaan alat-alat tersebut dapat menentukan kandungan biomassa dan karbon pohon secara cepat, tidak merusak pohon yang sedang menjadi obyek pengukuran (non destructive test), mudah dalam penggunaan dan dapat dibawa (portable).  (Hardiansyah et al. 2017 dan 2019b).

Peraturan Menteri Nomor P.11 Tahun 2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Dalam Permen ini dijelaskan bahwa unit manajemen pengelola hutan bisa memilih lebih dari satu sistem silvikultur atau multi sistem silvikultur yang diterapkan dalam satu perusahaan dan dalam satu waktu. Hal ini menjadi pendorong baru bagi unit manajemen pengelolaan hutan produksi untuk bisa memilih sistem silvikultur sesuai dengan potensi dan kondisi spesifik di lokasi.

Semua sistem silvikultur ini bertujuan untuk terciptanya pengelolaan hutan yang lestari untuk lingkungan, ekonomi dan sosial. Namun realitasnya, dewasa ini sejak reformasi 1999 berkembang situasi paradoks. Faktanya sekarang, bisnis sektor kehutanan relatif kurang berkembang, cenderung stagnan, lesu, tanpa gairah bahkan cenderung menuju ketidakpastian. Penuh dengan potret buram dengan masa depan yang suram pula. Ironisnya, pada saat yang bersamaan deforestasi dan degradasi hutan justru terjadi terus–menerus. Deforestasi dan degradasi hutan yang bermuara pada peningkatan emisi CO2e hampir dipastikan dilakukan untuk tujuan aktivitas non kehutanan. Data berikut menunjukkan sektor non kehutanan menjadi sangat signifikan sebagai penyumbang emisi di Kalimantan Barat (Hardiansyah, 2019).

WPK Berhutan Pada Unit Manajemen Terdeforestasi Tahun 2013-2018
WPK Berhutan Pada Unit Manajemen Terdeforestasi Tahun 2013-2018
WPK Berhutan Pada Unit Manajemen Terdegradasi Tahun 2013-2018
WPK Berhutan Pada Unit Manajemen Terdegradasi Tahun 2013-2018

WPK REDD+ mencakup areal yang masih berhutan pada akhir 2012 baik berupa hutan primer maupun hutan sekunder, di tanah mineral maupun di tanah gambut, termasuk lahan gambut yang ada pada tahun 1990 masih berhutan, namun pada akhir 2012 sudah tidak berhutan.

Pertanyaan bahkan gugatan atas anomali situasi di atas adalah dimana posisi sistem yurisdiksi dalam hal ini untuk menurunkan emisi GRK di Indonesia? 

(bersambung)