Kain tenun ikat adalah kain tradisional Suku Dayak yang terkenal memiliki keindahan motif dan warna. Kain ini biasa dipergunakan dalam acara-acara adat. Namun kain yang pembuatannya memakan waktu berbulan-bulan ini terancam punah karena jumlah penenunnya kian sedikit. Saya datang ke Kabupaten Sintang, wilayah yang terkenal akan keindahan kain tenun ikatnya itu, bertemu dengan para penenun.
Adriani, 42 tahun, dengen teliti memilah-milah benang berdasarkan warna yang dia gantung di ruang tamu rumahnya. Adriani lantas menuju ke beranda dan menyiapkan sebuah alat dari kayu. Sembari duduk mulailah ia memainkan kedua tangannya. Bunyi kayu yang saling beradu pun terdengar dengan pola tertentu.
Adriani adalah satu dari sedikit perempuan Dayak yang masih menguasai pembuatan kain tenun ikat. Perempuan ini bercerita soal sulitnya membuat kain khas Suku Dayak ini. Mulai dari menyiapkan bahan baku, membuat motif, mewarnai benang, sampai menenunnya.
“Bikinnya kurang lebih sekitar tiga bulan. Terkadang malah bisa lebih (lama). Kita ngerapikan benangnya, nyusunnya, dan kemudian menenunnya,” cerita penghuni rumah panjang Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat ini.
Kain tenun ikat terkenal memiliki keindahan motif dan warna. Motif pada kain ini memiliki cerita tertentu, misalnya cerita soal manusia dan lingkungannya. Disebut tenun ikat karena pola kain dibuat dengan mengikat benang sehingga menghasilkan motif yang indah.
Sub etnis Dayak Iban, Kantuk, Desa, Ketungau dan Mualang di Kalimantan Barat dikenal sebagai penghasil kain tenun ikat, khas Suku Dayak. Namun nasib kain tenun ikat mungkin tinggal menghitung hari.
Jacque Maessen (baca: Jek Mesen) berasal dari Yayasan Kobus dan PRCF Indonesia, lembaga yang giat menghidupkan kembali tradisi menenun di tengah masyarakat Dayak Sintang. Ia mencatat, tinggal segelintir orang yang bisa menenun kain ini. Yang muda, tak berminat.
“40 tahun yang lalu ketika saya baru di sini saya pergi ke kampung orang Kantuk dekat Sijiram, dan saya lihat ini bagus sekali. Tapi orang merasa, ah apa ini ada guna, kami toh tidak pake itu lagi karena itu tidak modern. Yang modern, jeans, t-shirt. Ah mereka sama sekali tak mau lagi. Hanya beberapa orang tua yang masih pandai, tapi itu tidak seberapa dihargai oleh orang muda lagi,” cerita Jacque Maessen. .
Yayasan Kobus dan PRCF Indonesia lantas membangun koperasi Jasa Menenun Mandiri, JMM pada 1999 . Upaya melestarikan kebudayaan suku Dayak ini dilakukan dengan memberikan pelatihan menenun dari desa ke desa. Pengelola koperasi JMM, Sugiman bercerita: “Jadi penenun kita kumpulkan kembali kemudian mereka bisa belajar dari kampung yang satu dengan kampung yang lain. Kemudian kita bantu untuk sistem pewarnaannya. Mereka sebenarnya sudah tahu sistem pewarnaannya seperti apa, tetapi agar kualitasnya lebih baik jadi kita lakukan untuk sistem pewarnaan yang semacam. Biar seragamlah.”
Berkat upaya ini, jumlah penenun terus meningkat hingga ratusan orang. Remaja pun mulai menunjukkan ketertarikan.
Upaya lain adalah mempergiat pemasaran kain tenun ikat khas Dayak ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pemkab Sintang pun bahkan telah membuat Museum Kapuas Raya pada 2008 untuk mengoleksi kain tenun ikat Dayak dari berbagai wilayah di Sintang. Mantan Bupati Sintang Milton Crosby berharap kain tenun ikat bisa sepopuler kain batik.
“Ini contohnya ya, kita sudah buat sekarang dari tenun ikat ini, yang pertama memang kita lewat kerjasama dengan Tropen Musium di Belanda. Di sana memang sudah ada musium, Satu-satunya musium di Belanda yang menyimpan budaya kita ini, Indonesia, hanya di sini saja.”
Kendala terbesar yang menghadang sekarang adalah sulitnya mencari bahan pewarna alami. Biasanya, ini mudah didapat dari hutan. Namun hutan mereka satu per satu digadaikan ke perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tokoh masyarakat adat Sintang, Ringan, khawatir, rusaknya alam membuat ketersediaan bahan baku kain tenun ikat mereka juga terancam.
“Mengenai keberadaan sawit ini memang mereka desa-desa sekitar sudah pada masuk. Dan menjadi kekhawatiran adalah membabat segala hutan menjadi lahan sawit,” keluhnya.
Sumber: suarapenyungkil.com.