Pontianak (PRCF) – Dengan dua perahu motor, tim patroli dari LPHD Lauk Bersatu didampingi personel Yayasan PRCF Indonesia menyusuri jengkal demi jengkal Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kadang harus berjalan kaki. Bila lelah makan di tengah hutan. Kadang juga melepas lelah di atas lanting. Menyusuri hutan selama tiga hari menjadi tugas rutin untuk memastikan tidak ada kerusakan hutan di wilayah Desa Nanga Lauk Kecamatan Embaloh Hilir Kabupaten Kapuas Hulu.
Yadi Purwanto dari PRCF Indonesia yang ikut mendampingi tim patroli hutan LPHD Lauk Bersatu menceritakan, patroli pada HPT ini selama tiga hari. Lebih lama dibandingkan dengan patroli Hutan Desa (HD). Karena, jangkauan patrolinya jauh lebih luas dan jauh. Perlu persiapan stamina dan alat transportasi serta peralatan patroli yang memadai. Termasuk juga perbekalan untuk mengisi perut. Sebab yang dilewati adalah kawasan hutan yang sebagian besar berair dan tidak ada perkampungan.
“Namanya juga patroli hutan. Yang disusur sepenuhnya hutan. Sangat jarang kita ketemu manusia. Untuk itulah kita harus benar-benar siap bila melakukan patroli hutan produksi terbatas,” cerita Yadi Purwanto yang ikut mendampingi tim patroli.
Untuk melakukan patroli, mereka menggunakan dua perahu motor. Satu perahu motor sewa. Satunya lagi perahu motor milik LPHD. Sewa perahu motor satu hari Rp100 ribu. Itu di luar bensin dan operator. Karena yang dilewati hanya hutan, masing-masing anggota tim patroli membawa makanan dalam rantang. Makanan itu untuk sarapan dan makan siang. Peralatan wajib untuk mendukung patroli yang harus dibawa di antaranya kertas form untuk mencatat secara manual apa saja sesuatu yang aneh saat patroli. Kemudian, GPS untuk menandai posisi. Kemudian, handy talky (HT) untuk komunikasi antar tim. Terakhir adalah handphone untuk mencatat secara digital.
“Kawasan Desa Nanga Lauk saja tidak ada sinyal HP. Apalagi di tengah hutan. Satu-satunya alat komunikasi kita hanya HT. Itupun untuk jarak-jarak tertentu saja. Bila melebih jarak, sinyal HT tidak muncul. Sementara HP yang kita bawa untuk kepentingan pencatatan. Kadang juga mendapatkan sinyal apabila kita berada di menara api yang berada di kawasan hutan. Tapi, harus naik dulu ke menara,” ungkap Yadi.
Pagi-pagi saat bumi mulai terang, tim patroli berangkat menuju hutan. Mereka menyusuri sungai demi sungai yang di sekelilingnya adalah hutan lebat yang masih terjaga dengan baik. Terbagi dua kelompok. Saat di kawasan hutan, dua kelompok beda perahu ini berpencar. Masing-masing menjalankan tugasnya. Antar kelompok ini bisa berkomunikasi lewat HT. Setiap sungai maupun anak sungai mereka masuki untuk memastikan apakah ada kerusakan hutan atau menemukan flora dan fauna baru.
“Apapun yang kita temukan selama patroli, kita catat dengan baik dan mendokumentasikannya. Misal kita menemukan ada cakaran beruang di batang pohon, semua kita catat. Itu membuktikan bahwa ada beruang di dalam hutan. Ada juga ular kita temukan di atas pohon. Termasuk juga burung, tupai, ikan dan sebagainya. Bahkan, kita juga menemukan pohon kawi dalam ukuran besar. Pohon ini berkualitas tinggi dan sering dijarah untuk dijadikan bahan untuk membuat rumah. Selama ada patroli, pohon kawi masih terjaga dengan baik,” papar Yadi.
Ada juga ketemu dengan pohon kempas berukuran besar dan menjulang tinggi. Pohon inilah menjadi primadona lebah hutan untuk membuat sarang. Banyak lebah bersarang di pohon tersebut. Madu yang dihasilkan merupakan madu kualitas terbaik di Indonesia.
Dalam aplikasi smart patrol memang sudah terdata sejumlah flora dan fauna. Apabila ditemukan di kawasan hutan, tinggal dicentang. Kadang ditemukan juga flora dan fauna yang tidak ada dalam aplikasi. Tentunya itu menjadi temuan baru dan dicatat dengan baik.
Namanya juga patroli dalam kawasan hutan, tentu ada kendala atau tantangan yang dihadapi. Salah satu ancaman binatang liar bila habitat mereka terusik. Pada patroli HPT kali ini, ada salah satu anggota tim diserang penyengat ganas. “Kalau dalam bahasa orang Nanga Lauk, kena gigit naning. Semacam lebah yang memiliki gigitan beracun. Nah, salah satu anggota kita, namanya Pak Peyang digigit naning ini. Karena berancun, ia pun tidak bisa melanjutkan patroli dan terpaksa harus dibawa ke kampung,” ungkap Yadi.
Selain ancaman dari binatang liar, di lapangan juga sering menghadapi medan, di mana sungai airnya kering. Sehingga perahu motor tidak bisa digunakan. Terpaksa, perahu ditambat selebihnya berjalan kaki menyusuri hutan. “Kadang kita harus berjalan kaki di tengah hutan sejauh satu kilometer. Semua ini kita lakukan untuk memastikan bahwa hutan produksi terbatas yang dimiliki Desa Nanga Lauk tidak ada kerusakan,” kata Yadi.
Selain menyusuri hutan, tim patroli juga singgah di menara pemantau. Menara ini juga dibangun oleh PRCF. Berada di tengah hutan dengan tujuan bisa memantau kawasan hutan dari segala penjuru. Sambil istirahat di menara, sekaligus memastikan apakah ada indikasi orang merusak atau membakar hutan. Dari atas menara pemantau, seluruh kawasan hutan terlihat jelas dari atas.
Kadang juga singgah di rumah bambu yang juga dibangun PRCF. Rumah bambu ini sering dijadikan homestay bagi wisatawan lokal maupun luar negeri. Letaknya di pinggir sungai dan di kawasan hutan menjadikannya sangat eksotis. Oleh tim patroli sering dijadikan tempat untuk melepas lelah. Selain itu, ada juga rumah pantau digunakan untuk memantau keberadaan orangutan. Rumah pantau itu memiliki jalan track yang masuk ke kawasan hutan. Jalan mirip jembatan ini meliuk-liuk dalam hutan sehingga memudahkan bagi siapa yang ingin melihat orangutan.
Memang setiap melakukan patroli hutan pasti ada hambatan, gangguan, maupun tantangan. Semua bisa dihadapi. Artinya, setiap melakukan patroli berjalan lancar dan sesuai dengan rencana. Patroli hutan bukan baru kali ini saja. Semenjak PRCF Indonesia melakukan pembinaan di Nanga Lauk, patroli hutan sudah dijalankan. Bahkan, ke depannya patroli hutan tetap berjalan secara berkala.
“Kita hanya ingin memastikan hutan desa maupun hutan produksi terbatas yang berada di kawasan Desa Nanga Lauk tetap terjaga dengan baik. Kita mendeteksi secara dini apabila ada pembalakan, kebakaran, ataupun perambahan hutan. Hutan Nanga Lauk bukan hanya milik warganya, melainkan sudah menjadi aset dunia,” tutup Yadi. (ros)