Pontianak-PRCF. Aktivitas konservasi dan pemberdayaan masyarakat dilakukan PRCF Indonesia di Nanga Lauk Kapuas Hulu mendapat perhatian dari media online ternama, Asiasentinel. Apa yang telah dilakukan Yayasan Pelestari Ragamhayati dan Cipta Fondasi Indonesia (Yayasan PRCF Indonesia) bagian dari upaya menjaga dan melestarikan hutan di jantung Kalimantan.
Sorotan tersebut ditulis Gregory McCann, kontributor tetap Asiasentinel. Tulisannya berjudul “Community-led Conservation in West Kalimantan”. Ia mengawali tulisan dengan mengungkapkan, Kalimantan bagian dari Indonesia. Memiliki kawasan hutan tropis sangat luas. Cuma, kawasan itu sedang menjalani transformasi antropogenik skala besar.
Hutan Kalimantan tempat bernaungnya orangutan, macan tutul Sunda, rangkong, dan bermacam-macam satwa liar aneh lainnya. Sayang, beradaan berbagai macam spesies tersebut terancam oleh kebakaran hutan, perkebunan sawit, proyek infrastruktur. Termasuk proyek jalan tol Trans-Kalimantan bisa mengancam habibat.
Gregory McCann bertanya, “Can any of the natural heritage of what has long been referred to as Treasure Island be preserved for future generations to understand and marvel at? (Bisakah salah satu dari warisan alam disebut sebagai Pulau Harta disimpan untuk generasi mendatang agar dipahami dan dikagumi? Dengan pertanyaan itu, Gregory membeberkan keberadaan People Resources and Conservation Foundation (PRCF) di Nanga Lauk Kapuas Hulu. LSM konservasi yang berbasis di Los Angeles itu telah aktif di Indonesia lebih dari dua dekade.
Hutan Desa Nanga Lauk dijadikan PRCF sebagai program utama. Hutan itu terletak di lanskap luas di Taman Nasional Danau Sentarum. Berada di dalam “Jantung Kalimantan” zona konservasi inti yang membentang dari Malaysia, Brunei dan Indonesia seluas 290.000 mil persegi.
Di daerah ini merupakan rumah bagi kumpulan spesies yang sangat terancam punah, seperti Langur Bornean Beruang, Sunda Pangolin, dan Buaya Tomistoma (buaya berhidung ramping yang langka) dan Kedidi Paruh Sendok. Ini adalah tanah ajaib dari lahan basah, danau, bukit, dan hutan hujan. Ribuan penduduk lokal bergantung pada hutan untuk mata pencaharian.
Danau Sentarum adalah danau menjadi sumber air untuk Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Sungai yang menjadi rumah bagi berang-berang, buaya, siamang, dan arowana Asia yang indah namun terancam punah. Ikan arowana juga dikenal sebagai “ikan paling didambakan di dunia” oleh orang Cina. Ikan pembawa hoki dan sering ditempatkan dalam aquarium di rumah.
Setelah menjelaskan situasi Nanga Lauk dan Danau Sentarum, Gregory menjelaskan perihal keberadaan PRCF. Program ini membantu memberdayakan masyarakat lokal. Juga untuk mengambil kepemilikan pengelolaan hutan melalui kombinasi unik agroforestri, patroli hutan, ekowisata, penjangkauan pendidikan, dan pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti madu hutan, rotan, tengkawang atau “elipe nute,” dan pengolahan ikan. Tujuannya adalah agar perlindungan jangka panjang dan pengelolaan berkelanjutan Hutan Desa Nanga Lauk berada di tangan orang-orang yang telah tinggal di daerah tersebut dan bergantung pada sumber dayanya selama ribuan tahun.
Terakhir Gregory menyatakan, untuk mengukur hasil dari program itu, Plan Vivo, sebuah lembaga sertifikasi kehutanan yang berkelanjutan, telah diminta untuk membantu mengukur dan meninjau kemajuan tujuan-tujuan yang ditetapkan. Tujuannya, konservasi tutupan hutan dan pemulihan hutan terdegradasi – melalui penginderaan jauh, dan sertifikat karbon triwulanan. Sejauh ini, hasilnya luar biasa. Dari sudut kecil dari Borneo Indonesia (Nanga Lauk) ini menjadi contoh dari apa yang mungkin terjadi ketika masyarakat lokal berfungsi sebagai pendorong utama inisiatif konservasi.
Aktivitas PRCF Indonesia mencakup pekerjaan lebih lanjut menuju konservasi berbasis masyarakat seperti melindung buaya Tomistoma yang terancam punah, konservasi penyu di Sambas. Kemudian, konsolidasi pekerjaan konservasi hutan kemasyarakatan di tujuh kawasan hutan kemasyarakatan. Implementasi Proyek Plan Vivo 25 tahun dengan masyarakat setempat melalui program Hutan Desa di desa Nanga Lauk, dan pelingkupan kemungkinan konservasi dan pengembangan terintegrasi program untuk manajemen berbasis masyarakat di Dolok Simalalaksa / Bukit Hadabuan di Sumatera Utara.
PRCF memiliki visi besar. Punya pengalaman serta pengetahuan untuk mengubah visi ini menjadi kisah sukses konservasi nyata di lapangan. Konsesi kayu akan menjadi hutan kemasyarakatan. Menjadikan penduduk desa sendiri melakukan patroli hutan pembalakan, perambahan, dan perburuan liar. Filosofinya, masyarakat lokal adalah bagian dari lanskap. Mereka selalu dan akan selalu begitu. Setiap proyek konservasi yang gagal membuat masyarakat lokal menjadi kecewa. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa kita melihat, pada tahun 2019, begitu banyak hutan hujan tropis terbakar atau ditebang oleh gergaji mesin.
Terakhir Gregory menjelaskan, suara suara manusia bisa menakutkan satwa liar. Predator top seperti kucing besar bisa melarikan diri, bahkan berhenti makan. Ini memiliki efek bagi seluruh ekosistem. Namun, jika penduduk lokal tidak membuat jerat, menembak burung, mengeringkan rawa-rawa, dan gunakan chainsaw, tidak ada alasan mengapa manusia dan satwa liar tidak dapat hidup berdampingan secara damai. Itulah tujuan akhir dari prakarsa PRCF di Kalimantan Barat dan lebih jauh di Vietnam dan Myanmar. Rencana konservasi PRCF adalah untuk keterlibatan selama 25 tahun dengan komunitas Nanga Lauk dan visinya, dengan skema perlindungan dan pengelolaan di tangan masyarakat setempat, fauna dan flora menjadikan Kalimantan tempat magis yang bisa ditemukan di Hutan Komunitas Nanga Lauk.
Sumber: https://www.asiasentinel.com/society/community-led-conservation-west-kalimantan/
Gregory McCann adalah Koordinator Proyek untuk ID Habitat dan rekan PRCF dan penulis buku Called Away by a Spirit Mountain: Journeys to the Green Corridor dan baru-baru ini menjadi associate dari RCIF. Dia adalah kontributor tetap untuk Asia Sentinel