Oleh Prof Dr Ir Gusti Hardiansyah M Sc QAM IPU (Artikel ini disampaikan dalam acara pengukuhan beliau sebagai guru besar Universitas Tanjungpura Pontianak)

Dunia internasional dewasa ini sangat khawatir dengan perubahan iklim yang semakin nyata. Sudah banyak laporan di dunia bahwa es di kutub terus mencair yang akan berdampak pada tragedi hilangnya beberapa pulau di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kenaikan suhu ini memberikan berbagai kekhawatiran akan munculnya berbagai wabah penyakit baru di dunia. Bahkan yang mungkin belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Apabila diurai emisi per sektor di dunia, menurut IPCC tahun 2014, sumber emisi per sektor ekonomi sekitar 25% dari aktivitas produksi listrik dan sumber energi panas, sekitar 24% dari pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, aktivitas industri 21%, transportasi 14%, energi selain listrik 9,6% dan bangunan 6,4%. Sumber emisi listrik sebesar 25% berasal dari aktivitas pembakaran batu bara, gas alam, dan minyak untuk listrik dan panas bumi lainnya. Informasi ini juga menunjukkan sektor pertanian, kehutanan, dan perubahan lahan masih menjadi sumber emisi di dunia.

Emisi GRK berdasarkan sektor ekonomi
Emisi GRK berdasarkan sektor ekonomi

 Tren emisi secara global setiap tahun dari tahun 1900 sampai tahun 2019 terus meningkat secara signifikan. Menurut Boden dkk (2017), Sejak 1970 sampai tahun 2011 emisi CO2e telah meningkat sekitar 90%. Kegiatan pembakaran dari bahan bakar fosil dan aktivitas industri menyumbang sekitar 78% dari total emisi gas rumah kaca (GRK). Selanjutnya sektor pertanian, kehutanan dan perubahan lahan menjadi sektor nomor dua yang berkontribusi pada emisi global.

Indonesia sudah melakukan perhitungan terhadap emisi yang sudah terjadi dan potensi emisi pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan dokumen NDC tahun 2016, emisi GRK Indonesia tahun 2010 sebesar 1.334 MTon CO2e. Sebagai negara berkembang yang terus melakukan pembangunan untuk semua sektor, tahun 2030 apabila tidak ada aktivitas penurunan emisi diperkirakan emisi Indonesia sebesar 2.869 MTon CO2e. Ini menunjukkan bahwa tren emisi Indonesia dan global memiliki tren yang sama yaitu sama-sama meningkat.

Sektor penyumbang emisi Indonesia tahun 2010 berdasarkan dokumen NDC yaitu dari sektor energi sebesar 453,2 MTon CO2e atau 33,96%. Sektor pertanian sebesar 110,5 MTon CO2 atau 8,28%. Sektor limbah 88 MTon CO2e atau 6,59%. Sektor industri 36 MTon CO2e atau 2,7% dan sektor kehutanan sebesar 647 MTon CO2e atau 48,48%. Pada tahun 2030 emisi sektor energi naik sangat tinggi menjadi sekitar 1.669 MTon CO2e atau 58,19% dan sektor kehutanan menyumbang emisi sekitar 714 MTon CO2e atau sekitar 24,89%. 

Dari data NDC di atas diketahui bahwa tahun 2010 penyumbang emisi terbesar di Indonesia adalah sektor kehutanan yaitu 48,48% dan yang kedua sektor energi yaitu 33,96%. Tetapi tahun 2030 sektor energi menjadi penyumbang emisi yang nomor satu di Indonesia yaitu 58,19% dan sektor kehutanan nomor dua terbesar yaitu sekitar 24,89%. Kenaikan emisi dari sektor energi menunjukkan kepada bangsa kita bahwa pembangunan di Indonesia setiap tahun masih bertumpu kepada energi yang tidak terbarukan, tinggi emisi dan tidak ramah lingkungan.

Apabila kita telusuri referensi emisi sektor kehutanan, berdasarkan dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) yang sudah dilakukan technical Assessment oleh UNFCCC tahun 2016 disebutkan rata-rata emisi Indonesia tahun 1990 – 2012 dari deforestasi sebesar 293,2 MTon CO2e. Emisi rata-rata dari tahun 1990 – 2012 akibat degradasi hutan sekitar 58,0 MTon CO2e. Emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan Indonesia pada periode 1990 – 2012 bervariasi dan yang tertinggi pada periode 1997 – 2000. Sedangkan untuk emisi dari dekomposisi gambut konsisten naik dari tahun 1990 yang diperkirakan sebesar 151,7 MTon CO2e dan tahun 2012 sekitar 226,1 MTon CO2e.

Hal yang sangat menarik bahwa data emisi dari deforestasi dan degradasi hutan periode 1990 – 2012 yang tertinggi berada pada fase 1997 – 2000. Untuk rata-rata deforestasi sekitar 737 MTon CO2e dan untuk degradasi hutan sekitar 162 MTon CO2e. Data ini sungguh menarik karena pada periode tersebut ada momentum perpolitikan nasional Indonesia yang sangat besar yaitu proses reformasi. Dari data ini ada indikasi kuat bahwa apabila terjadi ketidakpastian politik seperti periode 1997 – 2000 maka akan berdampak kepada hilangnya hutan Indonesia baik akibat deforestasi untuk konversi menjadi peruntukan lain atau terjadinya penurunan kualitas hutan atau degradasi hutan.

Apabila menilik FREL Sub Nasional Kalimantan Barat, proyeksi emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi gambut, maka proyeksi total emisi terlihat pada grafik di bawah ini:

Proyeksi Emisi Provinsi Kalimantan Barat 2013-2030 (Sumber: Hardiansyah et al. 2016)
Proyeksi Emisi Provinsi Kalimantan Barat 2013-2030
(Sumber: Hardiansyah et al. 2016)

Berdasarkan grafik di atas proyeksi pada tahun 2020 kontribusi emisi dari hutan Kalimantan Barat terhadap FREL Nasional secara global adalah 9,89%. Jika dilihat secara lebih rinci dari masing masing aktivitas, kontribusi FREL Kalimantan Barat terhadap FREL nasional dari deforestasi adalah sebesar 9,76%, dari degradasi hutan sebesar 3,12% dan dari dekomposisi gambut sebesar 11,68% (Hardiansyah et al. 2016).

Jelas, bahwa dampak perubahan iklim sudah di depan mata. Bukan hanya di tingkat global namun juga nasional. Karena itu, hanya ada dua pilihan bagi Pemerintah Indonesia beserta seluruh rakyatnya. Apakah akan membiarkan pemanasan global ini terus berlangsung dengan ancaman kerusakan lingkungan beserta dampaknya yang luar biasa dahsyat. Ataukah memilih untuk mencegah dan mengatasi perubahan iklim dan dampaknya. Seraya memberikan kepastian kualitas lingkungan dan ekosistem yang akan mampu menjamin kelangsungan dan keberlanjutan kehidupan secara lintas generasi. (bersambung)