Imanul Huda saat menanam pohon

Emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan isu global yang semakin mendesak (Watkins & Durning, 2012). Peningkatan emisi GRK karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) di atmosfer. Hal ini menyebabkan dampak lingkungan, termasuk pemanasan global. Efek rumah kaca menyebabkan pemanasan global dengan efek pantulan dan penyerapan gelombang panjang yang bersifat panas. Isu ini telah menjadi masalah dalam beberapa dekade terakhir (Abdollahbeigi & Salehi, 2020).

Perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi GRK mengakibatkan berbagai dampak, seperti mencairnya es di kutub, kenaikan level air laut, dan cuaca ekstrem. Climate change atau perubahan iklim adalah perubahan signifikan pada suhu, tingkat curah hujan, dan angin dalam kurun waktu yang cukup lama (Bonannella et al., 2023). Isu ini semakin ramai diperbincangkan karena tingkat penurunan emisi yang drastis pasca pandemi COVID-19.

Untuk mengatasi isu ini, muncul Perjanjian Paris tahun 2015 yang bertujuan memperkuat respon global untuk mengusahakan suhu bumi berada di bawah 2°C dengan pembatasan suhu 1,5°C (Horowitz, 2016). Selain itu, Protokol Kyoto dan komitmen nasional seperti Undang-undang No. 17 tahun 2004 di Indonesia juga berperan dalam mengurangi emisi GRK (Setyaningrum, 2015).

Definisi Emisi Gas Rumah Kaca

Emisi GRK adalah gas-gas yang mempunyai potensi untuk menyebabkan peningkatan efek rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca adalah proses di mana gas-gas ini menahan panas di atmosfer, sehingga mempengaruhi suhu permukaan bumi.

Beberapa jenis gas rumah kaca utama meliputi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Gas-gas ini dapat bertahan di atmosfer selama puluhan hingga ribuan tahun, menyebabkan dampak jangka panjang terhadap perubahan iklim.

Penyebab Emisi Gas Rumah Kaca

– Aktivitas Pembakaran Fosil

Pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu penyebab utama dari emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) (Sciences, 2014). Batu bara, minyak bumi, dan gas alam digunakan secara luas sebagai sumber energi dalam industri, transportasi, dan pembangkit listrik. Proses pembakaran ini menghasilkan CO2 sebagai produk sampingan, yang kemudian dilepaskan ke atmosfer dan berkontribusi pada peningkatan efek rumah kaca.

Selain CO2, pembakaran bahan bakar fosil juga menghasilkan gas lain seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikel debu. Meskipun gas-gas ini bukan termasuk gas rumah kaca utama, mereka dapat berkontribusi terhadap polusi udara dan membentuk asam hujan, yang dapat merusak ekosistem dan kesehatan manusia.

Penggunaan kendaraan bermotor, terutama yang berbahan bakar bensin dan diesel, menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar dari sektor transportasi. Mesin pembakaran dalam kendaraan mengkonsumsi bahan bakar fosil dan menghasilkan emisi CO2 serta polutan lainnya ke udara. Kenaikan jumlah kendaraan bermotor dan kurangnya infrastruktur transportasi berkelanjutan menjadi tantangan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi.

– Pertanian

Pertanian adalah sektor penting dalam perekonomian global, namun juga merupakan penyumbang signifikan emisi gas rumah kaca (Szyba & Mikulik, 2022). Produksi hewan ternak, khususnya sapi dan domba, menjadi salah satu penyebab utama emisi metana. Proses pencernaan ruminansia, yaitu fermentasi di dalam perut hewan, menghasilkan gas metana yang kemudian dilepaskan ke atmosfer.

Selain itu, penggunaan pupuk kimia dalam pertanian juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Pupuk kimia, seperti urea, melepaskan nitrogen oksida saat terdekomposisi di tanah. Gas nitrogen oksida ini memiliki potensi pemanasan global yang lebih tinggi dibandingkan CO2, meskipun konsentrasinya di atmosfer lebih rendah.

Sistem irigasi pertanian juga dapat menyebabkan emisi metana dan nitrogen oksida. Dalam kondisi tanah yang basah atau genangan air, bakteri anaerobik menghasilkan metana sebagai produk sampingan dari proses dekomposisi organik dan reduksi nitrat.

– Penggundulan Hutan

Penggundulan hutan adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim global karena menghilangkan penyerap CO2 dan melepaskan karbon yang disimpan dalam biomassa pohon ke atmosfer (Sinaga & Foekh, 2021). Selain itu, proses pembakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak sengaja, menghasilkan emisi GHG yang signifikan.

Selama proses penggundulan, biomassa pohon yang ditebang mengalami dekomposisi alami, menghasilkan gas metana dan karbon dioksida. Penebangan pohon juga mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap CO2 melalui fotosintesis, sehingga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Selain itu, penggundulan hutan juga mengancam keanekaragaman hayati dan mengurangi kapasitas ekosistem untuk menyimpan karbon. Kerusakan hutan dapat menyebabkan perubahan iklim lebih lanjut melalui albedo permukaan tanah yang berubah dan perubahan siklus air regional

– Industri

Industri merupakan sektor ekonomi yang membutuhkan energi dalam jumlah besar, yang seringkali diperoleh dari pembakaran bahan bakar fosil (Mikhaylov et al., 2020). Proses produksi semen, misalnya, membutuhkan pembakaran batu kapur dan batubara, yang menghasilkan emisi CO2 sebagai produk sampingan.

Produksi baja juga merupakan penyumbang emisi GHG yang signifikan. Proses peleburan bijih besi dengan kokas batubara di dalam tanur tinggi menghasilkan emisi CO2 dan gas lainnya seperti karbon monoksida dan hidrokarbon.

Selain itu, industri kimia dan petrokimia juga menghasilkan emisi gas rumah kaca melalui proses kimia yang melibatkan reaksi oksidasi dan dekomposisi molekul organik. Emisi gas rumah kaca dari industri ini tidak hanya berasal dari pembakaran bahan bakar, tetapi juga dari proses kimia itself.

Dampak Emisi Gas Rumah Kaca

Perubahan iklim global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca memiliki dampak yang luas dan mendalam terhadap ekosistem bumi. Peningkatan suhu global dapat memicu perubahan iklim lokal (Li et al., 2020), mengakibatkan pola hujan yang tidak stabil, musim kemarau yang lebih panjang, dan kekeringan yang lebih serius di beberapa wilayah. Hal ini dapat mengganggu siklus hidrologi dan mempengaruhi produksi pertanian serta ketersediaan air bersih untuk konsumsi manusia dan industri.

Kenaikan permukaan air laut sebagai akibat dari pencairan es kutub dan gletser serta ekspansi termal laut dapat mengancam keberlanjutan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (Vitousek et al., 2017). Banjir rob atau pasang surut yang semakin sering dan intens dapat merusak infrastruktur pesisir, mempengaruhi kehidupan masyarakat pesisir, dan mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove dan terumbu karang.

Perubahan pola cuaca yang ekstrem, seperti badai tropis yang lebih kuat dan sering, kebakaran hutan yang meluas, dan gelombang panas yang berkepanjangan, dapat meningkatkan risiko bencana alam dan kebakaran hutan (IPCC, 2022). Dampak ini tidak hanya mengancam keselamatan dan kesejahteraan manusia, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar akibat kerusakan infrastruktur, hilangnya produktivitas pertanian, dan pengurangan ketersediaan sumber daya alam.

Cara Mengatasi Emisi Gas Rumah Kaca

  1. Pengembangan Energi Terbarukan

Pengembangan energi terbarukan merupakan langkah kunci dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (Greene et al., 2020). Energi matahari, angin, dan hidro memiliki potensi besar sebagai sumber energi bersih yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Investasi dalam infrastruktur energi terbarukan dan penelitian teknologi baru dapat mempercepat transisi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan.

Energi terbarukan juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, dengan harga teknologi terbarukan yang semakin kompetitif, penerapan energi terbarukan menjadi lebih ekonomis dan memungkinkan akses energi yang lebih terjangkau bagi masyarakat.

  1. Pertanian Berkelanjutan

Praktik pertanian berkelanjutan dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian (Batlles-delaFuente et al., 2022). Pengelolaan limbah ternak dengan sistem pengolahan anaerobik dapat mengurangi produksi metana dari pencernaan hewan ternak. Selain itu, penggunaan pupuk organik dan rotasi tanaman dapat meningkatkan kesehatan tanah dan mengurangi kebutuhan pupuk kimia yang dapat menghasilkan nitrogen oksida.

Pertanian berkelanjutan juga mempromosikan agroforestri dan pertanian konservasi, yang dapat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah dan biomassa tanaman. Praktik ini tidak hanya mengurangi emisi GHG, tetapi juga meningkatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim.

  1. Konservasi Hutan

Konservasi hutan merupakan strategi penting dalam mengatasi emisi gas rumah kaca (Tallis et al., 2018). Mencegah deforestasi dan menghentikan praktik penggundulan liar dapat menjaga penyerapan karbon oleh hutan. Selain itu, program reboisasi dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi dapat meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap karbon dari atmosfer.

Hutan yang sehat juga mendukung keanekaragaman hayati dan memberikan berbagai manfaat ekosistem, termasuk pelestarian sumber air, regulasi iklim mikro, dan dukungan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Oleh karena itu, investasi dalam konservasi hutan merupakan investasi jangka panjang dalam mitigasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

  1. Efisiensi Energi

Meningkatkan efisiensi energi merupakan cara efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam berbagai sektor, mulai dari industri, transportasi, hingga rumah tangga (Bonoli et al., 2021). Penerapan teknologi dan praktek efisiensi energi, seperti peningkatan efisiensi mesin dan peralatan, isolasi bangunan, dan sistem transportasi berkelanjutan, dapat mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan emisi CO2 yang dihasilkan.

Program insentif dan regulasi yang mendorong efisiensi energi juga dapat mempromosikan inovasi teknologi dan penerapan praktek berkelanjutan. Selain mengurangi emisi GHG, efisiensi energi juga dapat mengurangi biaya operasional, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi ketergantungan pada energi berbasis fosil.

  1. Kurangi Limbah

Manajemen limbah yang efektif merupakan strategi lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, khususnya metana (Fouladi et al., 2023). Pengurangan limbah melalui praktik daur ulang, komposting, dan pengolahan limbah organik dapat mengurangi produksi metana di tempat pembuangan sampah.

Pengelolaan limbah yang benar juga dapat mengurangi polusi air dan tanah, mempromosikan sirkularitas ekonomi, dan mengurangi kebutuhan untuk tempat pembuangan sampah baru. Pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan limbah yang berkelanjutan juga merupakan kunci dalam mendorong perubahan perilaku dan praktek konsumsi yang lebih berkelanjutan.

Kesimpulan

Emisi gas rumah kaca merupakan masalah lingkungan global yang memerlukan tindakan segera dan komprehensif. Melalui pengembangan teknologi terbarukan, penerapan praktik pertanian berkelanjutan, konservasi hutan, peningkatan efisiensi energi, dan manajemen limbah yang baik, kita dapat mengurangi emisi GRK dan memitigasi dampak perubahan iklim global.

Pengurangan emisi GRK bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan upaya bersama dan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem bumi, kita dapat melindungi planet ini untuk generasi mendatang. (Rosadi Jamani)

Referensi

Abdollahbeigi, B., & Salehi, F. (2020). The Role of Information and Communication Industry (ICT) in the Reduction of Greenhouse Gas Emissions in Canada. International Research Journal of Business Studies, 13(3), 307–315. https://doi.org/10.21632/irjbs.13.3.307-315

Batlles-delaFuente, A., Abad-Segura, E., González-Zamar, M. D., & Cortés-García, F. J. (2022). An Evolutionary Approach on the Framework of Circular Economy Applied to Agriculture. Agronomy, 12(3). https://doi.org/10.3390/agronomy12030620

Bonannella, C., Hengl, T., Parente, L., & de Bruin, S. (2023). Biomes of the world under climate change scenarios: increasing aridity and higher temperatures lead to significant shifts in natural vegetation. PeerJ, 11. https://doi.org/10.7717/peerj.15593

Bonoli, A., Zanni, S., & Serrano-Bernardo, F. (2021). Sustainability in building and construction within the framework of circular cities and european new green deal. The contribution of concrete recycling. In Sustainability (Switzerland) (Vol. 13, Issue 4). https://doi.org/10.3390/su13042139

Fouladi, A. S., Arulrajah, A., Chu, J., & Horpibulsuk, S. (2023). Application of Microbially Induced Calcite Precipitation (MICP) technology in construction materials: A comprehensive review of waste stream contributions. In Construction and Building Materials (Vol. 388). https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2023.131546

Greene, D. L., Ogden, J. M., & Lin, Z. (2020). Challenges in the designing, planning and deployment of hydrogen refueling infrastructure for fuel cell electric vehicles. In eTransportation (Vol. 6). https://doi.org/10.1016/j.etran.2020.100086

Horowitz, C. A. (2016). Paris Agreement. International Legal Materials, 55(4). https://doi.org/10.1017/s0020782900004253

IPCC. (2022). Global Warming of 1.5°C. In Global Warming of 1.5°C. https://doi.org/10.1017/9781009157940

Li, F., Peng, Y., Chen, L., Yang, G., Abbott, B. W., Zhang, D., Fang, K., Wang, G., Wang, J., Yu, J., Liu, L., Zhang, Q., Chen, K., Mohammat, A., & Yang, Y. (2020). Warming alters surface soil organic matter composition despite unchanged carbon stocks in a Tibetan permafrost ecosystem. Functional Ecology, 34(4). https://doi.org/10.1111/1365-2435.13489

Mikhaylov, A., Moiseev, N., Aleshin, K., & Burkhardt, T. (2020). Global climate change and greenhouse effect. Entrepreneurship and Sustainability Issues, 7(4). https://doi.org/10.9770/jesi.2020.7.4(21)

Sciences, R. S. and U. A. of. (2014). Climate Change Evidence & Causes. National Acedemy of Sciences.

Setyaningrum, W. (2015). Analisis Yuridis Implementasi Protokol Kyoto Di Indonesia Sebagai Negara Berkembang. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 1(2). https://doi.org/10.23887/jkh.v1i2.6108

Sinaga, V. S., & Foekh, R. M. E. (2021). Kebijakan Uni Eropa Red Ii Dan Delegated Act Terhadap Perdagangan Produk Kelapa Sawit Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(1). https://doi.org/10.23920/jbmh.v6i1.197

Szyba, M., & Mikulik, J. (2022). Energy Production from Biodegradable Waste as an Example of the Circular Economy. Energies, 15(4). https://doi.org/10.3390/en15041269

Tallis, H. M., Hawthorne, P. L., Polasky, S., Reid, J., Beck, M. W., Brauman, K., Bielicki, J. M., Binder, S., Burgess, M. G., Cassidy, E., Clark, A., Fargione, J., Game, E. T., Gerber, J., Isbell, F., Kiesecker, J., McDonald, R., Metian, M., Molnar, J. L., … McPeek, B. (2018). An attainable global vision for conservation and human well-being. Frontiers in Ecology and the Environment, 16(10). https://doi.org/10.1002/fee.1965

Vitousek, S., Barnard, P. L., Fletcher, C. H., Frazer, N., Erikson, L., & Storlazzi, C. D. (2017). Doubling of coastal flooding frequency within decades due to sea-level rise. Scientific Reports, 7(1). https://doi.org/10.1038/s41598-017-01362-7

Watkins, J., & Durning, B. (2012). Carbon definitions and typologies in environmental impact assessment: Greenhouse gas confusion? Impact Assessment and Project Appraisal, 30(4), 296–301. https://doi.org/10.1080/14615517.2012.730224

 

Leave A Comment