Oleh Prof Dr Ir Gusti Hardiansyah M Sc QAM IPU (Disampaikan dalam pengukuhan beliau sebagai guru besar di Universitas Tanjungpura Pontianak)

Perubahan iklim adalah ancaman nyata yang hadir di depan mata dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup beserta seluruh ekosistem penyangganya. Isu perubahan iklim bahkan dalam waktu 20 tahun terakhir menjadi pusat perhatian dan menjadi trending topic semua pihak, semua level dan terkait dengan semua sektor.

Faktanya dampak perubahan iklim sudah langsung terasa. Bukan sekedar konsep, apalagi teori. Kenaikan permukaan air laut, perubahan siklus musim hujan – musim panas, munculnya beberapa wabah penyakit baru beserta seluruh dampak sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan adalah beragam konsekuensi konkrit dan nyata yang langsung dirasakan manusia. Perubahan iklim sudah menimbulkan kenaikan muka air laut akibat pemanasan global juga mengancam kawasan pertanian di pesisir dan cekaman salinitas menjadi meluas (Boer. 2009; Forster et al. 2011; Boer dan Kartikasari. 2014).

Ilustrasi dampak perubahan iklim
Ilustrasi dampak perubahan iklim

Ancaman nyata juga dialami sektor kehutanan, yang dalam konteks perubahan iklim termasuk digolongkan ke dalam LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry). LULUCF merupakan salah satu sektor penting dalam inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama deforestasi dan degradasi yang diakibatkan penebangan liar, kebakaran hutan dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah (Hardiansyah et al. 2014).

Tidak terbantahkan, industrialisasi di negara maju adalah sumber pemanasan global. Revolusi industri merupakan awal mula lahirnya kehidupan yang lebih baik, sekaligus awal bencana lingkungan. Akumulasi pencemaran udara secara drastis di tingkat global sangat berdampak pada perubahan iklim. Resultante perilaku industri yang dibalut dengan kebutuhan bahan baku menjadi pintu masuk kerusakan lingkungan.

Simak fakta berikut. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu GRK penting yaitu CO2 di atmosfir baru 290 ppmv (part per million by volume), dan saat ini (150 tahun kemudian) nilainya telah mencapai 350 ppmv. Jika pola konsumsi kian menggila, gaya hidup yang makin tidak ramah lingkungan, dan pertumbuhan penduduk terus mengalami ledakan, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau 2 kali lipat dari zaman pra industri. Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi diproyeksikan akan meningkat hingga 4,5 oC dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya (Murdiyarso, 2003).

Dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim yang sedang dan akan terus terjadi, negara-negara di dunia memberikan respon dengan melakukan pertemuan internasional pada Bulan Juni 1992 di Rio de Jeneiro, Brazil. Even ini dikenal dengan nama Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan oleh PBB dengan nama Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (The United Nations Conference on Environment and Development – UNCED). Dibungkus semangat kebersamaan, pertemuan yang diikuti oleh 179 negara ini menyatakan bahwa pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. 

Salah satu hasil kesepakatan yang melegenda dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992 adalah munculnya istilah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Isu pemanasan global, perubahan iklim dan dampak dari perubahan iklim di dunia ditangani secara intensif dalam UNFCCC.

Sayangnya, kecenderungan perilaku dan pendekatan penyelesaian masalah melalui forum-forum pertemuan yang bersifat seremonial tidak cukup mampu menghasilkan kesepahaman dalam wujud aksi konkrit dunia internasional. Konsep tidak selalu sejalan dengan realitas. Program konkrit yang langsung berupaya pada penurunan emisi masih menjadi retorika bahkan mimpi para pemimpin dunia. Khususnya di negara-negara industri maju yang dari perspektif sejarah justru harus menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan pemanasan global dan perubahan iklim. Berbagai konvensi internasional tidak berjalan. Berbagai kesepakatan global berhenti di tengah jalan. Bahkan ada diantara para pemimpin dunia yang dilandasi oleh keyakinan dan kepentingannya menyatakan diri keluar dari konsensus yang telah disepakati bersama. Negara–negara maju menunjukkan rendahnya etika dan tanggungjawab atas bencana global yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Dilandasi kesadaran akan keselamatan planet bumi dan kelestarian setiap ekosistem kehidupan, Bangsa Indonesia memilih sikap filantrofi lingkungan dengan landasan etika global. Hal itu diwujudkan dengan komitmen politik untuk melakukan mitigasi perubahan iklim. Refleksinya tercermin dari partisipasi aktif Pemerintah Indonesia dalam setiap proses persiapan berbagai konferensi. Memberikan kontribusi pemikiran dalam perumusan dan penyusunan dokumen Agenda 21 Global beserta seluruh turunannya. Aktualisasinya, Pemerintah Indonesia mendukung sejumlah persetujuan, yaitu Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, Pernyataan tentang prinsip-prinsip kehutanan, Konvensi tentang perubahan iklim, Konvensi tentang keanekaragaman hayati dan Dokumen Agenda 21 Global (Kementerian Lingkungan Hidup, 1997).

Untuk meningkatkan peluang partisipasi negara berkembang dalam mekanisme perdagangan karbon, pada tahun 2005 mulai diajukan mekanisme baru yaitu Reducing emission from Deforestation (RED). Indonesia termasuk salah satu negara yang mendukung dan aktif dalam negosiasi ini. Bahkan Indonesia tahun 2007 menjadi tuan rumah CoP 13 di Bali yang menghasilkan Bali Action Plan. Pada CoP 13 para pihak sepakat menambah isu degradasi hutan sehingga disempurnakan menjadi Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). CoP 13 di Bali juga makin mengakomodir peluang negara berkembang untuk terlibat dalam perdagangan karbon, yang ditandai dengan dipertimbangkannya kegiatan konservasi keanekaragaman hayati, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Peningkatan Simpanan Karbon (Carbon Stock) sebagai bagian dari kegiatan REDD. Penambahan ketiga kegiatan ini membuat istilah REDD+ (REDD plus).

Sekali lagi, konsep sering kali berbeda di tingkat implementasi. REDD ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Beberapa faktor penghambat implementasi dalam Clean Development Mechanism (CDM) seperti baseline, additionality dan leakage ternyata hanya berubah istilah dalam REDD. Seperti jebakan batman, yang semula tak tampak kini justru menjerat. Bahkan REDD yang dari awal diniatkan untuk mempermudah justru terjebak bisa lebih sulit diimplementasikan daripada CDM. Hal ini bisa dilihat munculnya istilah Reference Emission Level (REL) atau Reference Level (RL). Measurement–Reporting  and verification (MRV), safeguard, leakage, dan additionality.

Sungguh mempersulit. Intinya, komitmen para pihak masih sebatas jargon dan slogan. Belum pada semangat apalagi komitmen nyata untuk mengkonkritkannya. Apalah artinya istilah, definisi dan pengertian yang semuanya hanya bermuara pada perdebatan kosong. Sementara kerusakan lingkungan tidak pernah bisa dihentikan hanya dengan perdebatan penuh retorika. Apalagi hanya dengan janji-janji kosong belaka. Pertanyaan bahkan gugatan yang mengemuka adalah mengapa situasi seperti ini bisa terjadi? Benarkah negara-negara di dunia, khususnya negara-negara maju benar–benar memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim? Apabila penurunan pertumbuhan ekonomi dianggap bunuh diri bagi pemerintah dan masyarakatnya, seharusnya mekanisme REDD+ bisa diterima. Wujud komitmen menerima itu ditunjukkan dengan mempermudah semua proses dan prosedur. Bukan sebaliknya. Memperumit dan mempersulit konseptualisasi dan implementasinya.

Sekali lagi, Indonesia tidak patah semangat apalagi berputus asa. Penerbitan Perdirjen Perubahan Iklim No 8 tahun 2019 tentang Penetapan Forest Reference Emission Level (FREL) Sub Nasional (Provinsi) sekali lagi menunjukkan komitmen nyata Pemerintah Indonesia. Perdirjen ini seperti memberikan peta jalan baru bagi semua provinsi di Indonesia. Sebuah harapan baru. Dalam konteks tersebut, orasi ilmiah ini akan berupaya memberikan sebuah pemaparan. Bagaimana “Memperkuat Yurisdiksi Program Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Sosial Budaya, Ekonomi dan Lingkungan Komunitas Sebagai Kontribusi Indonesia Untuk Dunia”.

Persoalan baru muncul ketika adanya rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Sudah banyak disampaikan akademisi kehutanan bahwa Undang-Undang Omnibus Law cenderung diduga tidak pro lingkungan dan justru dapat mempercepat rusaknya hutan dan lingkungan. Pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL) seperti tidak diperlukan lagi sebagai bagian penting dalam pengambil keputusan terkait izin usaha. Hal ini sangat berbahaya dan perlu ditinjau ulang. Selain itu apakah Undang–Undang Omnibus Law mendukung rencana penurunan emisi nasional? Apabila Undang–Undang ini terlalu berorientasi pada upaya peningkatan investasi maka dapat diduga kuat bahwa undang-undang ini berpotensi besar menghambat dan bertentangan dengan dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) serta mengancam pencapaian target First Nationally Determined Contribution (NDC).

(bersambung)