
Desa Nanga Lauk, wah di mana itu? Begitu umumnya jawaban orang bila mendengar nama Nanga Lauk. Memang tidak banyak yang tahu. Wajar. Sebab, desa ini memang terpencil dan berada di jantung Pulau Kalimantan. Walau demikian, People Resources and Conservation Foundation atau Yayasan Pelestari Ragamhayati dan Cipta Fondasi (PRCF) Indonesia memilih desa itu menjadi kawasan konservasi.
Mengapa PRCF memilih Desa Nanga Lauk? Dalam catatan Gagasan Proyek Disampaikan kepada Plan Vivo Foundation oleh LTS International dan Daemeter Consulting atas nama PRCF Indonesia pada 13 Juni 2017, dijelaskan alasan memilih Nanga Lauk sebagai kawasan konservasi. Alasan utamanya, Nanga Lauk masih memiliki hutan desa.
Hutan Desa Nanga Lauk (HDNL) mencakup area seluas 1.430 ha. Terdiri dari hutan rawa gambut, tanah rawa dan danau. Di dalamnya ada tumbuhan dan hewan beragam. Semua itu mendukung mata pencaharian masyarakat Desa Nanga Lauk. Dari hutan ini masyarakat bisa mendapatkan penghasilan dari ikan dan madu. Hutan desa juga menjadi sumber persediaan air.
Cuma, potensi hutan tersebut bisa terancam. Masih banyak warga desa melakukan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Ada pengumpulan hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Masih ada konflik dengan satwa liar yang dapat menyerang sarang lebah. Sementara lebah sendiri penghasil madu yang merupakan sumber pendapatan warga. Ancaman lain bisa berasal dari perambahan untuk perluasan pertanian, kebakaran hutan dan lahan gambut, dan konsesi penebangan kayu.
Lahan Desa Nanga Lauk mencakup 5.277 ha hutan rawa gambut. Ini tergolong sebagai Hutan Produksi. Sebenarnya ada sebuah ancaman besar. Ada sebuah proposal untuk mengaktifkan kembali konsesi penebangan kayu di wilayah ini. Proposalnya diajukan untuk diaktifkan kembali kawasan tersebut sebagai konsesi penebangan kayu. Sebelumnya PT Bumi Raya Wood Industries memegang izin konsesi penebangan kayu untuk kawasan ini. Sejak tahun 2003 kawasan ini belum ditebang-tebang. Untung saja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) amencabut lisensi tersebut pada 7 April 2016.
Ancaman belum berakhir. Ada permohonan izin baru untuk konsesi diajukan oleh perusahaan yang berbeda. KLHK tetap menolak memberikan lisensi. Hal ini mengingat keinginan masyarakat Nanga Lauk yang tinggi untuk mengelola hutan di lahan desa mereka untuk konservasi. Justru KLHK membahas kesepakatan pengelolaan dengan masyarakat untuk area konsesi.
Harus diketahui, penebangan hutan mengancam cadangan karbon melalui deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu, membahayakan kualitas air, persediaan ikan dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Kemudian, bisa menggusur satwa liar dan mengganggu perairan. Warga Nanga Lauk juga menggunakan hutan ini untuk mengumpulkan kayu yang digunakan untuk membangun struktur sarang lebah buatan (‘tikung’). Dari tikung ini bisa dengan mudah menghasilkan madu lebah.
Nanga Lauk punya potensi hutan luar biasa. Dari hutanlah mereka hidup. Namun, dengan potensi yang dimiliki, keberadaan hutan sangat terancam. Bila tidak ada intervensi dari luar, bukan tidak mungkin segala potensi tersebut menjadi hilang. Hutan menjadi gundul, ikan berkurang, madu semakin sulit ditemukan, satwa liar tinggal cerita, dan sebagainya. Dari persoalan inilah, PRCF Indonesia menjatuhkan pilihkan ke Nanga Lauk sebagai kawasan konservasi. (ros)