Dua perempuan tangguh dalam Tim Patroli Hutan Desa

Oleh Rosadi Jamani

Pendahuluan

Perhutanan sosial merupakan sebuah pendekatan pengelolaan hutan yang mengakui hak dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan (Abimanyu, 2023). Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan (Sanudin et al., 2023). Di Indonesia, perhutanan sosial tidak hanya merupakan kebijakan pemerintah, tetapi juga sebuah upaya untuk mengembalikan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan (Adianto & Muamar, 2023). Konsep ini mendorong masyarakat untuk berperan serta langsung dalam pengelolaan hutan, dari yang berbasis konservasi hingga pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari (Harly, 2023).

Pentingnya perhutanan sosial dalam konteks ekonomi lokal tidak bisa diabaikan (Loreggian et al., 2023). Ini menawarkan sebuah mekanisme di mana hutan bisa dijaga keberlanjutannya, sambil memastikan bahwa masyarakat lokal mendapat manfaat ekonomi yang signifikan (Ville et al., 2023). Dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan, program ini membuka peluang ekonomi baru yang bisa meningkatkan kualitas hidup mereka (Sanudin et al., 2023). Ekonomi lokal mendapatkan dorongan melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan penguatan ekonomi mikro dan makro di daerah tersebut.

Artikel ini bertujuan untuk menjelajahi berbagai cara di mana perhutanan sosial dapat membawa manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal. Melalui analisis mendalam tentang berbagai model perhutanan sosial yang telah diterapkan, artikel ini akan menggali potensi-potensi yang belum banyak terungkap sebelumnya. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan wawasan tentang bagaimana perhutanan sosial bisa menjadi alat yang ampuh untuk pembangunan ekonomi lokal, sekaligus memperkuat upaya pelestarian lingkungan. Diharapkan, pembahasan ini akan memperluas pemahaman pembaca tentang perhutanan sosial dan mendorong penerapan lebih luas dari konsep ini di berbagai wilayah di Indonesia.

Melalui eksplorasi mendalam dalam artikel ini, pembaca akan diajak untuk memahami pentingnya integrasi antara pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan ekonomi lokal. Hal ini tidak hanya relevan dalam konteks Indonesia, tetapi juga untuk negara-negara lain di dunia yang sedang mencari cara untuk harmonisasi antara kelestarian lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakatnya.

Konsep dan Model Perhutanan Sosial

Perhutanan sosial adalah pendekatan pengelolaan sumber daya hutan yang dirancang untuk mengintegrasikan masyarakat lokal ke dalam proses pengambilan keputusan dan manfaat ekonomi yang dihasilkan dari hutan (Zhiyanski et al., 2021). Tujuan utama dari perhutanan sosial adalah untuk mendorong keberlanjutan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi lokal melalui pengelolaan hutan yang partisipatif dan inklusif (Mather, 1996). Dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di dan sekitar hutan, pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi konflik penggunaan lahan, meningkatkan konservasi sumber daya alam, dan memastikan distribusi yang lebih adil dari pendapatan yang diperoleh dari hutan.

Dalam implementasi perhutanan sosial, terdapat beberapa model yang telah dikembangkan, antara lain:

  1. Hutan Desa: Model ini mengizinkan desa-desa di sekitar hutan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan secara berkelanjutan (Rhezandhy Gunawan et al., 2024). Hal ini dimaksudkan untuk mendukung kebutuhan ekonomi desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pindi Patana & Wanda Afnes Rahmatika, 2024).
  2. Hutan Kemasyarakatan (HKm): Model ini fokus pada pemberdayaan masyarakat untuk mengelola hutan negara atau hutan yang berada di bawah kewenangan pemerintah (Rodrigues et al., 2024). HKm bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya hutan (Gao et al., 2024).
  3. Hutan Adat: Pendekatan ini mengakui dan menghormati hak-hak tradisional komunitas adat terhadap hutan dan sumber daya alam lainnya (Ungirwalu et al., 2021). Hutan Adat diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku, yang berfokus pada pelestarian nilai-nilai budaya dan ekologi (Sopaheluwakan et al., 2023).

Berbagai daerah di Indonesia telah menerapkan model-model perhutanan sosial dengan sukses yang beragam. Misalnya, di Kalimantan Barat, model Hutan Desa telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat dengan memanfaatkan hutan untuk wisata ekologi dan penjualan hasil hutan non-kayu. Seperti yang dilakukan oleh Yayasan PRCF Indonesia sedang melakukan pendampingan terhadap enam desa di Kabupaten Kapuas Hulu. Semua berkaitnnya dengan perhutanan sosial.

Pada akhirnya, pemilihan model perhutanan sosial yang tepat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan ekologis lokal serta kebutuhan dan harapan masyarakat. Kesuksesan setiap model ini tergantung pada keterlibatan aktif masyarakat, dukungan pemerintah, dan akses ke pasar untuk produk-produk hutan. Kesemua ini membuktikan potensi yang besar dari perhutanan sosial dalam membawa dampak positif pada ekonomi lokal jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan.

Manfaat Perhutanan Sosial terhadap Ekonomi Lokal

Perhutanan sosial secara signifikan berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal melalui berbagai sumber (Ranjan Nayak, 2014). Salah satu sumber utama adalah hasil hutan non-kayu, yang meliputi produk seperti damar, madu, obat-obatan herbal, dan buah-buahan hutan. Masyarakat lokal, dengan akses dan hak pengelolaan yang lebih baik, dapat mengumpulkan, memproses, dan menjual produk-produk ini dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Selain itu, integrasi agroforestri—kombinasi pertanian dengan penanaman pohon—memungkinkan masyarakat untuk mendiversifikasi pendapatan mereka, meningkatkan ketahanan pangan, dan memperbaiki kondisi tanah dan mikroklimat lokal.

Perhutanan sosial juga menciptakan lapangan kerja baru melalui aktivitas pengelolaan hutan dan kegiatan ekonomi berbasis hutan (Chen et al., 2022). Ini termasuk pekerjaan dalam pengawasan hutan, pemanenan berkelanjutan, dan pekerjaan di bidang pariwisata ekologi yang berkembang di sekitar hutan (Schipfer et al., 2022). Di samping itu, program perhutanan sosial seringkali menyertakan komponen pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi masyarakat lokal, sehingga mereka tidak hanya terlibat dalam pekerjaan dasar tetapi juga dapat memegang posisi yang memerlukan keterampilan teknis lebih tinggi, seperti pengelolaan sumber daya alam dan pemasaran produk hutan (Chabán-García & Hidalgo-Capitán, 2023).

Implementasi perhutanan sosial seringkali memicu peningkatan infrastruktur lokal (Kurniawan et al., 2020). Akses yang lebih baik ke hutan, yang diperlukan untuk aktivitas ekonomi, biasanya mengharuskan pembangunan jalan dan fasilitas penunjang lainnya yang juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan lain. Selain itu, perhutanan sosial menarik investasi dari sektor swasta yang tertarik dengan pengembangan produk hutan berkelanjutan dan pariwisata. Investasi-investasi ini tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal melalui penciptaan lapangan kerja tetapi juga melalui pengembangan kapasitas dan infrastruktur lokal.

Beberapa studi kasus telah menunjukkan manfaat nyata dari perhutanan sosial (Willmott et al., 2023). Misalnya, di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, masyarakat di sekitar hutan dengan model Hutan Kemasyarakatan berhasil meningkatkan pendapatan melalui pemasaran buah-buahan, madu, ikan, kopi hutan, dan ekowisata. Kesuksesan ini bukan hanya meningkatkan pendapatan tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap pelestarian hutan (Willmott et al., 2023). Namun, tantangan tetap ada, termasuk kendala birokrasi, perluasan lahan pertanian yang berlebihan, dan konflik penggunaan lahan (Rakatama & Pandit, 2020). Pelajaran dari kasus-kasus ini menunjukkan bahwa dukungan pemerintah, kejelasan regulasi, dan penguatan kapasitas komunitas adalah kunci untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari perhutanan sosial (Octavia et al., 2022).

Perhutanan sosial memberikan berbagai manfaat ekonomi yang substansial bagi masyarakat lokal, namun keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang efektif, dukungan yang berkelanjutan, dan adaptasi terhadap kebutuhan serta tantangan lokal. Pemberdayaan masyarakat, melalui pendidikan dan partisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan, adalah fundamental dalam mencapai keberlanjutan ekonomi dan ekologis yang diinginkan.

Strategi Optimalisasi Manfaat Ekonomi

Untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari perhutanan sosial, perlu adanya kebijakan pemerintah yang mendukung (Syofiarti et al., 2023). Kebijakan ini harus dirancang untuk memfasilitasi akses lebih luas kepada masyarakat terhadap sumber daya hutan, memperjelas hak pengelolaan hutan bagi masyarakat, dan menyederhanakan proses birokrasi yang sering menjadi penghalang (Mutaqin et al., 2023).

Inisiatif Pemerintah dan Kebijakan Pendukung: Pemerintah dapat memainkan peran kunci dalam memfasilitasi dialog antara berbagai pemangku kepentingan dan menyusun regulasi yang memperkuat hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam. Hal ini termasuk memastikan bahwa masyarakat lokal mendapat bagian yang adil dari keuntungan yang diperoleh dari hutan.

Kerja sama antar pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta strategi utama. Peningkatan kerjasama ini bisa menciptakan sinergi yang membawa manfaat mutual. Misalnya, perusahaan swasta dapat berinvestasi dalam proyek perhutanan sosial sebagai bagian dari tanggung jawab sosial korporat mereka, sedangkan komunitas lokal mendapatkan modal dan pelatihan untuk mengembangkan usaha berbasis hutan.

Pengembangan kapasitas komunitas lokal adalah fundamental dalam meningkatkan manfaat ekonomi dari perhutanan sosial (Morizon et al., 2023). Melalui pendidikan dan pelatihan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berbasis hutan (Ardiyanto et al., 2022).

Program pelatihan yang ditujukan untuk masyarakat hutan dapat mencakup teknik-teknik agroforestri, pengelolaan sumber daya alam, dan keterampilan bisnis. Ini memungkinkan mereka tidak hanya menjadi pekerja namun juga pengusaha yang mampu mengelola sumber daya hutan secara efektif.

Pendekatan pengelolaan yang inklusif dan berkelanjutan juga perlu diterapkan (Razzaque & Lester, 2021). Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan memastikan bahwa manfaat dari perhutanan sosial dirasakan secara luas dan berkelanjutan (Moktan et al., 2016). Pendekatan yang inklusif ini juga membantu dalam mengatasi konflik yang mungkin timbul dalam pengelolaan sumber daya alam.

Untuk memastikan keberhasilan perhutanan sosial dalam memberikan manfaat ekonomi yang maksimal bagi masyarakat lokal, diperlukan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta. Pendekatan yang terkoordinasi dan inklusif akan memungkinkan pengembangan model-model perhutanan sosial yang tidak hanya mendukung keberlanjutan lingkungan tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Perhutanan sosial telah terbukti sebagai pendekatan efektif yang mengintegrasikan kebutuhan ekonomi lokal dengan keberlanjutan lingkungan. Sepanjang pembahasan dalam artikel ini, telah dijelaskan bagaimana perhutanan sosial dapat memberikan manfaat ekonomi yang substansial kepada masyarakat lokal melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan pengembangan infrastruktur. Pendekatan ini juga membantu dalam melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesadaran serta kapasitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Untuk mengoptimalkan potensi perhutanan sosial dalam mendukung pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan, diperlukan dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah harus melanjutkan untuk mengembangkan dan mengeksekusi kebijakan yang mendukung, termasuk mempermudah akses ke sumber daya dan pelatihan, serta menyederhanakan prosedur birokrasi yang dapat menghambat pertumbuhan. Selain itu, kolaborasi antara komunitas lokal, pemerintah, dan sektor swasta perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dari perhutanan sosial dapat dinikmati secara luas dan berkelanjutan.

Artikel ini mengakhiri dengan seruan untuk aksi dari semua pihak yang terlibat. Masyarakat lokal harus proaktif dalam mengadvokasi hak-hak mereka dan berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan hutan. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret dalam mengamankan dan memperkuat hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, serta menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk implementasi efektif perhutanan sosial. Akhirnya, sektor swasta harus melihat perhutanan sosial tidak hanya sebagai kewajiban etis tetapi juga sebagai peluang ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat mutual.

Perhutanan sosial adalah lebih dari sekadar alat konservasi. Itu adalah strategi vital untuk pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Melalui pemberdayaan masyarakat lokal dan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan, perhutanan sosial menawarkan jalan menuju masa depan yang lebih hijau dan sejahtera. Keberhasilan dari pendekatan ini bergantung pada komitmen bersama untuk mendorong perubahan yang positif dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia dan di seluruh dunia.

Dengan melanjutkan upaya ini, kita bisa berharap untuk tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memperbaiki kehidupan masyarakat lokal, menjadikan perhutanan sosial sebagai inti dari pembangunan berkelanjutan yang sejati.

Referensi

Abimanyu, R. (2023). Keterkaitan Kebijakan Perhutanan Sosial Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Tenurial Di Kawasan Hutan. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan, 18(2). https://doi.org/10.31849/forestra.v18i2.11704

Adianto, D., & Muamar, M. (2023). Peranan Budaya Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dalam Penetapan Hutan Adat. Jurnal Suara Hukum, 4(2). https://doi.org/10.26740/jsh.v4n2.p435-455

Ardiyanto, S. Y., Saraswati, R., & Soponyono, E. (2022). Law Enforcement and Community Participation in Combating Illegal Logging and Deforestation in Indonesia. Environment and Ecology Research, 10(4). https://doi.org/10.13189/eer.2022.100403

Chabán-García, O., & Hidalgo-Capitán, A. L. (2023). Green economy and green jobs: A multisectoral analysis by means of Andalusia´s social accounting matrix. Revista de Estudios Regionales, 126(2).

Chen, H., Cao, J., Zhu, H., & Wang, Y. (2022). Understanding Household Vulnerability and Relative Poverty in Forestry Transition: A Study on Forestry-Worker Families in China’s Greater Khingan Mountains State-Owned Forest Region. Sustainability (Switzerland), 14(9). https://doi.org/10.3390/su14094936

Gao, L., Paré, D., Martineau, C., Yin, X., Rodríguez-Rodríguez, J. C., Gagné, P., & Bergeron, Y. (2024). Response of the soil microbial communities to forest ground cover manipulation in a boreal forest. Forest Ecology and Management, 553. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2023.121615

Harly, L. (2023). Sustainable Forest Management from the Perspective of Customary Law in Indonesia: A Case Study in the Bayan Community. International Journal of Social Sciences and Humanities, 1(1). https://doi.org/10.55681/ijssh.v1i1.324

Kurniawan, W., Maani, K. Dt., Heripan, H., Taqwa, R., Putro Priadi, D., Milantara, N., Harbi, J., Gautama, A., Mustofa, A., Prayoga, A., Bastian, O., Setiawan, T. H., Tjakrta, F. T. J., Inkiriwang, R. L., Penghambat, F., Proyek, P., Di, G., & Malang, K. (2020). Metode pelaksanaan pekerjaan balok dan plat lantai dua pada pembangunan Mall Pelayanan Publik (MPP) Manado. Sriwijaya Journal of Environment, 4(1).

Loreggian, F., Secco, L., & Pettenella, D. (2023). Organizational Models in European Forestry: An Attempt of Conceptualization and Categorization. Forests, 14(5). https://doi.org/10.3390/f14050905

Mather, A. (1996). Bad harvest? The timber trade and the degradation of the world’s forests. Applied Geography, 16(3). https://doi.org/10.1016/0143-6228(96)83719-2

Moktan, M. R., Norbu, L., & Choden, K. (2016). Can community forestry contribute to household income and sustainable forestry practices in rural area? A case study from Tshapey and Zariphensum in Bhutan. Forest Policy and Economics, 62. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2015.08.011

Morizon, Nurrochmat, D. R., Maharijaya, A., & Putra, P. K. (2023). Developing a sustainable community forest management strategy in the mountainous areas of Tanggamus, Lampung, Indonesia. Biodiversitas, 24(8). https://doi.org/10.13057/biodiv/d240831

Mutaqin, F., Nurrochmat, D. R., & Supriyanto, B. (2023). Evaluating the sustainability of forest utilization in the protected areas of Mandalagiri Forest, West Java, Indonesia. Biodiversitas, 24(5). https://doi.org/10.13057/biodiv/d240528

Octavia, D., Suharti, S., Murniati, Dharmawan, I. W. S., Nugroho, H. Y. S. H., Supriyanto, B., Rohadi, D., Njurumana, G. N., Yeny, I., Hani, A., Mindawati, N., Suratman, Adalina, Y., Prameswari, D., Hadi, E. E. W., & Ekawati, S. (2022). Mainstreaming Smart Agroforestry for Social Forestry Implementation to Support Sustainable Development Goals in Indonesia: A Review. In Sustainability (Switzerland) (Vol. 14, Issue 15). https://doi.org/10.3390/su14159313

Pindi Patana, & Wanda Afnes Rahmatika. (2024). Community perceptions of the Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) in Besitang District, Langkat Regency: Case study of Bukit Mas Village. Global Forest Journal, 2(01). https://doi.org/10.32734/gfj.v2i01.15559

Rakatama, A., & Pandit, R. (2020). Reviewing social forestry schemes in Indonesia: Opportunities and challenges. In Forest Policy and Economics (Vol. 111). https://doi.org/10.1016/j.forpol.2019.102052

Ranjan Nayak, S. (2014). Forced Displacement and Resistance: A Study of Lanjigarh Project, Odisha. EDUCATIONAL QUEST: An International Journal of Education and Applied Social Sciences, 5(1).

Razzaque, J., & Lester, C. (2021). Why Protect Ancient Woodland in the UK? Rethinking the Ecosystem Approach. Transnational Environmental Law, 10(1). https://doi.org/10.1017/S2047102520000333

Rhezandhy Gunawan, Indra Gumay Febryano, Idi Bantara, Slamet Budi Yuwono, Christine Wulandari, Hari Kaskoyo, Samsul Bakri, & Rahmat Safe’i. (2024). Implementation of local superior plant of forest and land rehabilitation based on community perception in Girimulyo Village, East Lampung Regency, Indonesia. Global Forest Journal, 2(01). https://doi.org/10.32734/gfj.v2i01.14222

Rodrigues, M., de la Riva, J., Domingo, D., Lamelas, T., Ibarra, P., Hoffrén, R., & García-Martín, A. (2024). An empirical assessment of the potential of post-fire recovery of tree-forest communities in Mediterranean environments. Forest Ecology and Management, 552. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2023.121587

Sanudin, Widiyanto, A., Fauziyah, E., & Sundawati, L. (2023). Agroforestry farmers’ resilience in social forestry and private Forest programs during the COVID-19 pandemic in Indonesia. Forest Science and Technology, 19(3). https://doi.org/10.1080/21580103.2023.2222156

Schipfer, F., Pfeiffer, A., & Hoefnagels, R. (2022). Strategies for the Mobilization and Deployment of Local Low-Value, Heterogeneous Biomass Resources for a Circular Bioeconomy. Energies, 15(2). https://doi.org/10.3390/en15020433

Sopaheluwakan, W. R. I., Fatem, S. M., Kutanegara, P. M., & Maryudi, A. (2023). Two-decade decentralization and recognition of customary forest rights: Cases from special autonomy policy in West Papua, Indonesia. Forest Policy and Economics, 151. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2023.102951

Syofiarti, S., Fatimah, T., & Muhammad Yades, K. (2023). Pengelolaan Hutan Nagari Berdasarkan Skema Perhutanan Sosial Oleh Masyarakat Hukum Adat Di Propinsi Sumatera Barat. Unes Journal of Swara Justisia, 6(4). https://doi.org/10.31933/ujsj.v6i4.282

Ungirwalu, A., Awang, S. A., Runtuboi, Y. Y., Peday, M. Y., Marwa, J., Maitar, B., Murdjoko, A., & Fatem, S. M. (2021). Customary forests in west papua: Contestation of desires or needs? Forest and Society, 5(2). https://doi.org/10.24259/FS.V5I2.13350

Ville, A., Wong, G., Aceituno, A. J., Downing, A., Karambiri, M., & Brockhaus, M. (2023). What is the ‘problem’ of gender inequality represented to be in the Swedish forest sector? Environmental Science and Policy, 140. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2022.11.013

Willmott, A., Willmott, M., Grass, I., Lusiana, B., & Cotter, M. (2023). Harnessing the socio-ecological benefits of agroforestry diversification in social forestry with functional and phylogenetic tools. Environmental Development, 47. https://doi.org/10.1016/j.envdev.2023.100881

Zhiyanski, M., Glushkova, M., Dodev, Y., Bozhilova, M., Yaneva, R., Hristova, D., & Semerdzhieva, L. (2021). Role of the cultural ecosystem services provided by natural heritage in forest territories for sustainable regional development. Journal of the Bulgarian Geographical Society, 45. https://doi.org/10.3897/jbgs.e72766

 

Leave A Comment