Mesin pengolahan bambu sempat terendam air karena Desa Sri Wangi Kecamatan Boyan Tanjung Kabupaten Kapuas Hulu dilanda banjir beberapa waktu lalu. Akibat terendam banjir, mesin tersebut tidak bisa dihidupkan. PRCF Indonesia dengan dukungan TFCA Kalimantan Siklus5 mendatangkan teknisi dan mesin tersebut akhirnya bisa dioperasikan kembali.
“Alhamdulillah, mesin genset yang sempat tak hidup, sekarang sudah dihidupkan kembali. Termasuk mesin pengolahan bambu juga bisa beroperasi. Mudahan ke depan tidak ada lagi bencana banjir,” kata Iwan Supardi, Tenaga Ahli Pengembangan Mata Pencaharian Masyarakat PRCF Indonesia saat berada di Desa Sri Wangi, Selasa (24/8/2021).
Dijelaskan alumni Fakultas Teknik Untan ini, akibat banjir seluruh mesin tidak berfungsi. Beliau membawa teknisi untuk memperbaiki mesin tersebut. Mesin genset sukses dihidupkan kembali. Sementara untuk mesin pengolah bambu ada modifikasi sasis mesin dinamo listriknya. “Keduanya sukses berfungsi kembali,” ujarnya.
“Bukan hanya memperbaiki mesin, kita juga melakukan pemasangan instalasi listrik 3 fase di lokasi baru. Listrik tersebut nantinya dikhususkan untuk kegiatan workshop saja. Kita berharap apa yang telah direncanakan berjalan lancar,” harap Iwan.
Selain memperbaiki mesin dan pemasangan instalasi listrik, pihaknya juga melakukan relokasi workshop. Sebab, lokasi awal sudah tidak memungkinkan. Dengan relokasi tersebut diharapkan workshop bisa berfungsi lebih maksimal.
Desa Sri Wangi salah satu desa binaan PRCF Indonesia dengan dukungan program TFCA Kalimantan Siklus5. Proses pendampingan baru dimulai beberapa bulan lalu. Desa Sri Wangi akan dikembangkan sebagai sentra pengembangan bambu. Sudah terbentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Bambu di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Batang Tau.
Produksi Ecopolybag
Ditambahkan Iwan, lewat LPHD Batang Tau melalui KUPS Bambu Desa Sri Wangi akan memproduksi ecopolybag dalam jumlah besar. Ecopolybag itu nantinya dimanfaatkan untuk pembibitan pohon di lima LPHD yang didampingi oleh PRCF Indonesia.
“Kita juga akan mempromosikan ini ke pihak lain bila berminat. Untuk sementara ecopolybag yang akan diproduksi untuk LPHD di bawah binaan PRCF dulu,” tambah Iwan.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif PRCF Indonesia, Imanul Huda M Hut S Hut menjelaskan, ecopolybag sangat ramah lingkungan. Tidak seperti polybag dari plastik, tidak ramah dan menjadi isu global.
Memang, polybag plastik telah lama jadi andalan masyarakat untuk media pembibitan. Karena dianggap lebih praktis dengan harga cukup murah. Polybag plastik bisa digunakan juga berkali-kali. Namun, lebih banyak masyarakat menggunakannya sekali saja. Apalagi jika bibit yang akan ditanam telah dibawah ke lokasi penanaman. Biasanya tempat pembibitannya akan ikut terbuang ke lingkungan.
“Karena itu diperlukan adanya media pembibitan yang lebih ramah lingkungan. Dan itu jatuh pada yang namanya ecopolybag. Media ini dapat digunakan sebagai pengganti polybag plastik yang dapat menimbulkan limbah plastik. Sehingga dianggap kurang ramah lingkungan,” jelas Imanul.
Lanjut Imanul, media pembibitan ramah lingkungan telah memiliki peminat tersendiri. Pihaknya optimis produksi ecopolybag dari Desa Sri Wangi ini akan banyak peminat. “Kita akan promosi bila sudah produksi nanti,” tambahnya. (ros)