Madu hutan Tesso Nilo dari Provinsi Riau cukup dikenal. Hutan yang dikelola secara lestari menjadi rumah besar buat lebah. Dari sinilah dihasilkan madu yang membawa kesejahteraan bagi warga di sekitarnya.
Madu hutan Tesso Nilo dikelola dengan pendekatan sistem kontrol internal (Internal Control System/ICS). Oleh Forum Masyarakat Tesso Nilo, Yayasan Tesso Nilo, WWF Indonesia dan Asosiasi Petani Madu hutan Tesso Nilo didukung oleh TFCA Sumatera membuat manual panduan cara pengelolaan madu hutan Tesso Nilo tersebut. Manual panduan itu disusun oleh Arysad Rachim, Afri Yondra, Jack Sebua, Radaimon, Ramli, Rintan, dan Wazar.
Latar Belakang
Penggunaan madu hutan untuk konsumsi atau pengobatan telah dilakukan ribuan tahun yang lalu oleh berbagai bangsa di dunia termasuk Indonesia (Nusantara waktu itu). Catatan sejarah mengenai madu hutan di Indonesia terjadi sejak dahulu terutama saat perdagangan rempah-rempah dan madu hutan oleh pedagang-pedagang nusantara dan asia. Kerajaan Sriwijaya abad ke 9 Masehi, telah memanfaatkan madu sebagai komoditas utama dari komoditas lain misalnya rempah-rempah, hasil pertanian dan perkebunan seperti getah karet. Bagi masyarakat Indonesia, India, Filipina dan Nepal telah menggunakan madu sebagai bagian pengobatan di masa-masa itu.
Sekarang madu menjadi komoditas yang penting dan bervariatif, selain dikonsumsi secara langsung, madu juga telah dikembangkan dengan berbagai macam produk makanan lainnya seperti bahan campuran makanan dan minuman. Selain itu, madu dapat digunakan untuk produk bukan makanan seperti sabun. Sarang madu dapat digunakan untuk pembuatan produk kerajinan lilin madu. Di beberapa tempat di Indonesia, madu adalah komoditas unggulan yang memberikan peningkatan ekonomi masyarakat. Madu juga menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat adat di Indonesia.
Pohon Sialang
Kawasan hutan Tesso Nilo di Provinsi Riau merupakan salah satu lokasi penghasil madu hutan. Sekitar 400 hingga 500 pohon Sialang, tempat lebah hutan bersarang terdapat di wilayah Tesso Nilo. Ini merupakan jumlah yang signifikan dari sisi ekonomi kepada masyarakat petani madu di sekitar Tesso Nilo. Hasil survei yang dilakukan oleh WWF tahun 2009-2010 menunjukkan bahwa potensi madu di kawasan hutan Tesso Nilo sebesar 73 ton/ tahun. Kendala terbesar saat ini adalah rusaknya hutan dan penebangan pohon Sialang. Rusaknya hutan sekitar pohon Sialang di Tesso Nilo menyebabkan kekhawatiran banyak petani madu hutan karena mereka akan kehilangan mata pencaharian serta warisan anak cucu mereka terancam.
Sekitar tahun 2004, petani madu mulai berpikiran untuk melakukan pengelolaan madu secara lestari. Pandangan ini juga didukung oleh masyarakat lainnya dan lembaga yang peduli terhadap kelestarian madu Tesso Nilo. Pengelolaan madu secara lestari dilakukan melalui peningkatan mutu produk madu serta memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan demikian jika syarat di atas dipenuhi diharapkan akan ada peningkatan nilai jual madu. (bersambung)