Oleh Yadi Purwanto
PRCF Indonesia hadir sebagai pendamping masyarakat sejak tahun 2000 dengan empat program utama yakni 1) Pemberdayaan perempuan dan penguatan identitas budaya masyarakat, 2) Program membangun demokrasi dan perdamaian, 3) Program konservasi habitat dan spesies terancam punah, 4) Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, pengembangan HHBK dan Jasa ekosistem.
Namun pendampingan lebih intensif dilakukan sejak tahun 2022 dengan hadirnya Program Rimba Pakai Kemuka Ari di Kabupaten Kapuas Hulu yang didukung Rimba Collective melalui Lestari Capital yang menghubungkan antara PRCFI dan Rimba Pakai Kemuka Ari. Program jangka panjang ini mencakup 5 hutan desa dampingan, yakni 1) Hutan Desa Bukit Belang Desa Tanjung Kecamatan Mentebah, dengan luasan hutan desa 2.050 Ha, 2) Hutan Desa Pundjung Batara Kecamatan Boyan Tanjung dengan luasan hutan desa 1.995 ha, 3) Hutan Desa Batang Tau Kecamatan Boyan Tanjung dengan luasan 335 H, 4) Hutan Desa Nyuai Peningun Desa Nanga Jemah dengan luasan 4.160 ha dan 5) Hutan Desa Bumi Lestari Desa Penepian Raya Kecamatan Jongkong dengan luasan 1.285 ha.
Program Rimba Pakai Kemuka Ari sebagai salah satu solusi dalam mendukung Imbal Jasa Ekosistem di dalam Program Perhutanan Sosial dimana program ini menggunakan standar iklim, masyarakat dan keanekaragaman hayati. Tujuan iklim adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dengan melindungi dan melestarikan areal Perhutanan Sosial di Kabupaten Kapuas Hulu. Tujuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa di Kapuas Hulu, Tujuan keanekaragaman hayati; untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati dalam areal Perhutanan Sosial.
Jangan Terlepas
Untuk tujuan iklim tanpa adanya Program Rimba Pakai Kemuka Ari di 5 hutan desa akan ada 76,773 tCO2 yang akan terlepas di atmosfer. Setelah adanya program dengan berbagai kegiatan masih tetap ada 21, 343 tCO2 yang akan terlepas, namun jika program ini berhasil akan ada 55, 430 tCO2 dapat dicegah terlepas di atmosfer namun itu masih harus dikurangi kebocoran dari pelarangan kegiatan penyebab deforestasi dan degradasi di luar lokasi perhutann sosial dan kebocoran dari kegiatan pengurangan deforestasi dan degradasi seperti penggunaan pupuk dalam restorasi dan lainnya. Sehingga dengan adanya program selama 25 tahun akan ada 44,344 tCO2 bersih yang akan dicegah terlepas ke atmosfer. Sehingga program ini dapat bersumbangsih dalam pencegahan perubahan iklim dan pemanasan global kedepannya
Untuk tujuan keanekaragaman hayati di hutan desa dampingan PRCF, dari hasil patroli dan kamera trap yang telah dipasang dapat dijumpai satwa terancam punah seperti beruang (Helarctos malayanus) dengan status konservasi menurut IUCN redlist CR (Critically Endangered/Kritis) dan menurut CITES masuk Appendix I, macan dahan (Neofelis nebulosa), dengan status konservasi VU (Vulnerable/rentan) masuk Appendix I, untuk jenis avesnya terdapat pula ruai (Argusianus argus) status knservasi VU (Vulnerable/rentan), Appendix II dan Rangkong badak (Buceros rhinoceros) status konservasi VU (Vulnerable/rentan)
Salah satu kegiatan yang didukung program untuk mencapai tujuan iklim dan keanekaragaman hayati adalah dengan dilaksanakannya patroli hutan desa. Pelaksana patroli adalah tim patroli yang telah mendapatkan SK dari masing-masing LPHD. Patroli hutan yang identik pelaksananya adalah kaum pria ternyata tidak berlaku untuk LPHD Bukit Belang Desa Tanjung Kecamatan Mentebah. Dari 20 orang anggota tim patroli ada terselip 2 orang perempuan perkasa yang berani keluar masuk hutan untuk memantau hutan desa dari ancaman yang dapat mengurangi potensi hutan. Lama patroli di HPHD Bukit Belang selama 5 hari per bulannya, untuk fasilitas patroli sekarang sudah lebih baik dikarenakan sudah ada pondok patroli yang dapat digunakan tim untuk beristirahat dan bermalam, beda dengan sebelumnya dimana tim harus membuat tenda beratap terpal dan beralaskan karung bekas dan berpindah 2-3 kali setiap tripnya.
Keterlibatan Perempuan
Lusia Linda dan Susana Omas nama kedua perempuan itu yang selalu mengisi daftar hadir ketika 1 bundel laporan Desa Tanjung dikirim. Hadirnya perempuan-perempuan itu bukan sekedar penghias atau jatuh-jatuhnya sebagai tukang masak tim patroli saja, tapi perempuan-perempuan itu ikut serta menjelajahi hutan desa sesuai dengan grid atau petak kerja yang telah ditentukan. Topografi dataran rendah, bukit dan sub pegunungan dengan kelas elevasi 300-900 mdpl menjadi kharakteristik Hutan Desa Bukit Belang sehingga diperlukan fisik dan stamina yang mumpuni. Tapi kedua perempuan itu telah ditempa oleh alam dimana budaya dan kebiasaan berladang di punggung-punggung bukit dengan sabit rotan dipunggungnya dan berjalan berjam-jam menjadi latihan kesehariannya.
Mata dan telinga selalu siaga untuk mengamati satwa yang berkelebat di dalam hutan desa. Tak luput tanda-tanda satwa seperti cakaran beruang, jejak kancil, kubangan babi dan suara burung-burung juga dicatat, tanda-tanda satwa ini dicatat selain perjumpaan langsungnya, karena hadirnya satwa sebagai indikator keanekaragaman hayati.
Tim juga mencatat jenis tumbuhan seperti pohon-pohon raksasa dari keluarga meranti-merantian yang diameter bisa mencapai 2 meteran dan tinggi puluhan meter, tim baru bisa mencatat nama lokalnya saja. Selain itu tim juga mencatat HHBK yang bisa digunakan untuk kerajinan maupun tumbuhan obat seperti akar bajakah dan pasak bumi, walupun bunga dari jenis keluarga rafflesia juga dapat dijumpai
Selain itu tim juga mencatat temuan di Indikator deforestasi dan degradasi hutan seperti tunggul tebangan, pembukaan lahan dan perburuan. Walaupun kecendrungannya pembukaan lahan berada di pemudak yang telah dimiliki. Patok, pondok, papan informasi juga dicatat kondisinya pakah masih baik, bergeser, rusak atau hilang. Pencatatan ini penting agar ada perbaikan di rencana tindak lanjut LPHD dikemudian harinya.
Pencatatan ini penting untuk mengetahui satwa apa saja yang ada dan akan menjadi pantauan terus menerus dan harapannya tetap masih ada sampai 25 tahun kedepan dan kekekalan dapat terjadi setelah program selesai hingga anak cucu masih menjumpai.
Penulis adalah Fasilitator Konservasi PRCF Indonesia