
Pada seminar Pertemuan Nasional Mitra Program Setapak 2 di Hotel Harris Vertu Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2010) dibentangkan Working Paper berjudul Pembiayaan Perhutanan Sosial di Indonesia. Di dalam paper itu diuraikan Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial.
Perhutanan Sosial sebagai konsep pemberian akses legal bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya hutan sudah berproses sejak Tahun 1990. Sebelum Tahun 1990, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan belum dipandang sebagai komunitas yang memiliki potensi dan kemampuan untuk memainkan peranan penting dalam pengelolaan hutan. Tetapi sebaliknya mereka hanya dilihat sebagai tenaga kerja murah dalam kegiatan perkebunan dan kehutanan. Dalam kurun waktu Tahun 1990 sampai 1998, perhatian dan tingkat kesadaran bahwa masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dapat berperan aktif sebagai pengelola hutan semakin meningkat.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebenarnya sudah berkembang sejak tahun 1960an khusus pada hutan di Pulau Jawa yang dikelola oleh Perhutani melalui pembuatan hutan sistem tumpang sari. Sejak tahun 1972, Perhutani terus mengembangkan beragam pendekatan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan seperti pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), Pembangunan Masyarakat Desa Hutan/PMDH (1982), Perhutanan Sosial (1984), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu/PMDHT (1994), dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat/PHBM sejak 2001 hingga saat ini.4 PHBM kemudian diintegrasikan dalam program Perhutanan Sosial dalam skema IPHPS.
Pada tataran kebijakan, pengaturan perhutanan sosial telah berevolusi sejak tahun 1990-an melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dikenalkan pertama kali pada 1995 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 Tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Pedoman ini memberikan peluang kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya. Dua tahun kemudian, pelibatan masyarakat ini diperkuat dengan peningkatan status pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengaturan ini kemudian disempurnakan lagi pada 1999 sejalan dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pengaturan HKm kemudian disempurnakan lagi pada 2001 sejalan dengan pelaksanaan UU Otonomi Daerah dimana daerah dengan kewenangan urusan hutan yang dimilikan mulai terlibat dalam proses perizinan IUPHKm.
Tahun 2007 merupakan tonggak perkembangan pengelolaan hutan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam konteks perhutanan sosial, peraturan ini mulai mengenalkan skema baru selain Hutan Kemasyarakat yaitu Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa. Pada tahun-tahun berikutnya, berdasarkan pada PP ini lahir beberapa peraturan menteri yang mengatur penyempurnaan HKm (2009-2011), pengaturan HTR (2011), pengaturan kemitraan kehutanan (2013), pengaturan Hutan Desa (2014) dan pengaturan Hutan Hak (2015). Berikut ini tabel dari tahun ke tahun mengenai perkembangan perhutanan sosial di Indonesia.

Kemudian pada 2016, dalam rangka percepatan pelaksanaan perhutanan sosial, semua pengaturan skema pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan digabung dan disederhanakan dalam satu pengaturan mengenai Perhutanan Sosial yang diatur di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, bahkan telah dilengkapi dengan pengaturan skema hutan adat.
Dalam rangka mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar hutan yang berada di pulau Jawa, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Skema Perhutanan Sosial Perkembangan kebijakan perhutanan sosial di Indonesia hingga lahirnya Permen LHK P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial menetapkan 5 skema perhutanan sosial yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat. Secara umum semua skema tersebut kecuali Hutan Adat dapat dilaksanakan pada kawasan hutan negara baik hutan lindung, hutan produksi, maupun hutan konservasi. Secara lebih rinci Tabel 1 di bawah ini menjelaskan pelaksanaan setiap skema perhutanan sosial dari sisi lokasi, bentuk hak/izin pengelolaan yang diberikan, siapa yang dapat mengajukan izin dan status serta jangka waktu pengelolaan. Kecuali Hutan Adat, semua skema perhutanan sosial memiliki jangka waktu hingga 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kondisi dan kebutuhan.