PRCF Indonesia menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Mercure Pontianak, Kamis (7/9/2023). FGD ini membahas dokumen pendukung proposal green climate fund Provinsi Kalimantan Barat.
“Materinya sangat menarik terkait dengan analisis dampak. Termasuk soal skenario perubahan iklim dipaparkan oleh pakar. Materi ini sangat bermanfaat dalam fasilitasi yang dilakukan PRCF di sejumlah LPHD,” kata Direktur Eksekutif PRCF Indonesia, Imanul Huda S Hut M Hut di sela-sela FGD.
FGD tersebut tidak hanya dihadiri PRCF Indonesia, ada juga sejumlah NGO lain ikut hadir. Kegiatan itu diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar bekerja sama GIZ Forclime. Pelaksanaan dari 6 – 7 September 2023.
Pemateri pertama dari Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM – SEAP) IPB University. Judul materinya tentang Kajian Risiko dan Kerentanan Iklim (CRVA): Metode Kajian dan Dampak Kerentanan Iklim. Disebutkan bahwa Kalbar dipengaruhi oleh dampak perubahan iklim karena ada perubahan pada suhu dan pola curah hujan. Banjir, kekeringan dan kebakaran hutan berpotensi terjadi peningkatan akibat adanya perubahan frekuensi dan intensitas dari pola suhu dan curah hujan. Tingkat risiko dipengaruhi oleh tingkat bahaya, kerentanan dan juga keterpaparan wilayah terhadap dampak perubahan iklim tentu.

Dari data yang telah dikumpulkan, pihak CCROM SEAP berhasil mengindentifikasi potensi dampak wilayah. Kota Pontianak memiliki persentase tinggi (58,6%) dalam kategori “Sangat Rendah” potensi dampak. Ini menunjukkan kerentanan dan paparan yang lebih rendah terhadap bahaya iklim. Selain itu, Kota Pontianak kemungkinan memiliki tindakan adaptasi iklim yang tinggi untuk mengurangi kerentanan dan menghadapi bahaya iklim di area tersebut.
Sementara itu, Bengkayang juga masuk dalam kategori potensi dampak “Sangat Rendah” dan “Rendah” yang digabungkan. Ini menunjukkan kerentanan dan paparan yang relatif lebih rendah terhadap bahaya iklim. Potensi dampak rendah di Bengkayang mungkin disebabkan oleh tindakan adaptasi yang tinggi untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.
Kemudian, Kabupaten Kapuas Hulu memiliki persentase gabungan 30,5% dalam kategori potensi dampak “Sangat Rendah” dan “Rendah”. Kabupaten Kayong Utara memiliki 18,7% luas wilayahnya masuk dalam kategori potensi dampak “Sangat Rendah” dan “Rendah”, menunjukkan kerentanan dan paparan yang lebih rendah terhadap bahaya iklim. Kedua kabupaten tersebut mungkin juga memiliki tindakan adaptasi yang tinggi untuk mengurangi
kerentanan terhadap dampak perubahan iklim. Tindakan adaptasi yang tinggi mempengaruhi penurunan risiko iklim di lokasi tersebut.
Pemateri kedua disampaikan Prof Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Ia menyampaikan materi berjudul Gender Assessment and Gender Action Plan
in West Kalimantan. Ketimpangan gender hampir merata di segala sektor. Perlu ada upaya serius dari pemerintah agar persoalan gender diperhatikan dengan saksama. (ros)