Pontianak (PRCF) – The Asia Foundation (TAF) menggandeng Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) menggelar coaching clinic Sekolah Ekonomi Desa (SED) di Hotel Santika Pontianak, 16 Januari 2020 lalu. PRCF Indonesia mengirimkan tiga personelnya.
Sebenarnya ada dua dari PRCF Indonesia, yakni Rio Afiat selaku Manager Program dan Azri selaku Livelihoods Program Specialist. Sementara satunya lagi dari masyarakat dampingan PRCF yakni Arsad selaku Sekretaris LPHD Lauk Bersatu.
“Jadi kita bertiga mengikuti coaching clinic itu. Dua dari unsur PRCF sendiri, satunya dari masyarakat yang kita dampingi. LPHD Lauk Bersatu merupakan lembaga yang selama ini kita dampingi,” kata Azri, Livelihoods Program Specialist PRCF Indonesia, Jumat (17/1/2020).
Dalam kegiatan ini, TAF menggandeng PUPUK mengundang mitra dari SETAPAK. Di antara mitra SETAPAK yang diundang SAMPAN, PRCF, JARI, LBBT, ELPAGAR, Link-Ar, AMAN, dan PPK. Masing-masing mengirimkan dua orang dari unsur mitra, dan satu lagi dari unsur masyarakat yang didampingi.
“Narasumber kali ini berasal dari pelaku ekspor bahan hasil hutan bukan kayu dari Surabaya yaitu Ibu Catur. Kemudian pengrajin sekaligus pengusaha furniture dari Jepara yaitu Pak Roni dan pelaku usaha bahan olahan dari kota Palu yaitu Ibu Agnes. Ketiga narasumber banyak memberikan masukan dan saran kepada PRCF dalam menggerakkan bisnis masyarakat. Dan mereka siap memberikan bantuan termasuk jejaring pemasaran,” jelas Azri.
Menurut Azri, coaching clinic ini sangat penting bagi program pemberdayaan masyarakat. Narasumber yang dihadirkan adalah pelaku usaha. Harapannya, dari mereka bisa diambil cara dan upaya mengembangkan sebuah usaha agar bisa diterima oleh pasar.
“Harapan utama kita tentunya agar bisa diterapkan di daerah binaan. PRCF Indonesia memiliki daerah binaan salah satunya Desa Nanga Lauk. Di sana kita sudah mengembangkan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. Kita akan terapkan apa yang sudah didapat dari coaching clinic ini di Nanga Lauk,” tambah Azri.
Sementara itu dalam term of reference dijelaskan, SETAPAK mempromosikan peningkatan tata kelola hutan dan lahan melalui dukungan mitra OMS dan masyarakat untuk mengakses program kehutanan sosial. SETAPAK dan mitranya telah mencapai pada penerimaan izin hutan sosial untuk mengelola kawasan hutan menjadi kegiatan ekonomi. Namun, beberapa mitra OMS dan unit manajemen terkait kehutanan sosial ditingkat desa kurang memiliki pengetahuan tentang praktik pembangunan ekonomi.
Hal terpenting yang seharusnya mapan dalam proses-proses persiapan pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk mencapai tujuannya secara maksimal adalah penguatan kelembagaan masyarakatnya. Karenanya, praktik pembangunan ekonomi untuk perhutanan sosial perlu diintegrasikan dengan implementasi UU Desa.
Desa saat ini telah menjadi subjek pembangunan sejak diterbitkannya Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Harapan untuk memperbaiki kehidupan warga desa tidak lagi hanya menjadi bagian yang diagendakan, melainkan merupakan agenda utamanya. Amanat UU jelas memberikan kewenangan bagi desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Afirmasi terhadap hak asal-usul maupun skala (ruang lingkup) lokal dan disertai dengan transfer dana, berupa Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) berpeluang menjadi strategi baru dalam pembangunan. Semangat yang diusung oleh UU Desa membebaskan desa memiliki cita-cita dan tujuan bersama dalam mengelola asset dan potensinya secara optimal, bahkan implementasinya dapat menggapai semua aspek kehidupan masyarakat termasuk pemanfaatannya untuk perhutanan sosial.
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Desa No.16/2018 menjadi peluang adanya integrasi program perhutanan sosial dengan implementasi UU Desa. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa dana desa dapat digunakan untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat penerima izin perhutanan sosial. Kegiatan yang bisa menggunakan dana desa adalah pembiayaan usaha desa yang diarahkan untuk menggerakkan perekonomian warga desa, seperti: pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang diarahkan untuk membangun dan mengelola sumber daya hutan dan produk-produk turunannya. Jelas bahwa untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat pengelola hutan, dimilikinya akses pengelolaan saja tidak cukup. Diperlukan setidaknya kelembagaan pengelola yang mapan, dukungan finansial, pengetahuan usaha,dan jejaring yang luas. Maka pada tahap pasca izin dibutuhkan pendampingan yang intensif. Sehingga menjadi sebuah keharusan bagi fasilitator atau CSO yang pendamping memiliki kapasitas yang cukup dalam mendampingi kelompok usaha, baik dalam bidang penguatan kapasitas, jejaring hingga membuka akses terhadap dukungan-dukungan yang dibutuhkan. Pada Training Sekolah Ekonomi Desa sebelumnya, PUPUK telah memperkenalkan alternatif metode pengembangan usaha kepada CSO mitra SETAPAK dan kelompok dampingannya.
Sebagai kelanjutan kegiatan peningkatan kapasitas, PUPUK akan menyelenggarakan kegiatan Coaching Clinic. Dari kegiatan training, PUPUK menilai ada kebutuhan untuk membangun jejaring serta akses pasar baik antar mitra SETAPAK dan kelompok dampingan maupun dengan pasar yang tersedia.
Pada kegiatan Coaching Clinic, PUPUK akan mempertemukan mitra SETAPAK dengan beberapa pelaku usaha yang relevan dengan kegiatan usaha dan potensi yang telah terpetakan. Dengan demikian, diharapkan kegiatan ini dapat menjadi langkah awal sinergi yang saling menguntungkan antara CSO mitra SETAPAK, kelompok dampingan dan pelaku usaha yang dapat dituangkan dalam sebuah dokumen rencana aksi lanjutan. (ros)