Desa Nanga Yen berada dibagian hulu Sungai Embau. Secara adminsitratif, desa ini terbagi dalam tiga dusun. Desa ini berada dalam kawasan hutan produksi, sehingga sebagian besar wilayahnya masih terdapat beberapa tegakan hutan yang masih bagus yang membantu menyediakan air bersih yang mengalir ke Sungai Embau dan beberapa anak sungai lainnya. Dengan potensi hutan yang ada ini, masyarakat dan pemerintah Desa Nanga Yen sejak tahun 2012 memiliki pemikiran untuk mengamankan wilayah hutan mereka agar tetap terjaga fungsi dan ingin melindungi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Pada tahun 2012, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kapuas melakukan sosialisasi perhutanan sosial di Desa Nanga Yen. Didampingi oleh Yayasan PRCF Indonesia, masyarakat di desa ini sepakat untuk mengembangkan skema pengelolaan hutan desa. Pak Samsul Arifin usia 57 tahun memiliki pengalaman sebagai petani andalan yang tergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mendapat mandat sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Inilah awal perjuangan panjang bagi Pak Samsul untuk mendapatkan hak kelola hutan desa di Desa Nanga Yen. Setelah disepakati dan memerhatikan ketentuan yang berlaku, pemerintah desa bersama LPHD mulai mempersiapkan usulan pengelolaan hutan desa. Hampir seluruh hutan yang ada di desa sekitar 4.000 hektar mereka usulkan untuk bisa dikelola.
Hingga awal tahun 2015, LPHD Desa Nanga Yen belum mendapatkan rekomendasi dari Bupati. Pada bulan Mei 2015 setelah melalui proses konsultasi dan diskusi dengan Pemerintah Kabupaten, dan Kementerian Kehutanan pada waktu itu, maka luas usulan di kurangi menjadi sekitar 1.446,59 hektar. Pak Samsul berupaya memperbaiki usulan dengan luasan wilayah kelola yang baru juga.
Usulan baru ini tidak langsung bisa dikirim kepada Menteri Kehutanan pada waktu itu. Pemerintah Kabupaten belum bersedia memberikan rekomendasi karena diwilayah desa tersebut masih ada ijin ekplorasi pertambangan dari PT. Usaha Tiga Generasi (PT. UTG). Ijin ini diberikan oleh Bupati periode sebelumnya. Namun sepengetahuan masyarakat kegiatan usaha pertambangan ini dilapangan tidak pernah ada. Masyarakat dan pemerintah desa tidak patah semangat, perjuangan masih terus dilakukan. Pak Samsul dan kawan-kawan LPHD mulai menyiapkan kegiatan advokasi bersama pendampingannya Yayasan PRCF Indonesia atas dukungan The Asia Foundation (TAF). Komunikasi dengan pihak PT. UTG dibangun secara intensif dengan tujuan, PT UTG dapat memberikan enklave luasan tertentu untuk bisa dikelola oleh masyarakat dalam skema hutan desa. Upaya mediasi juga dibantu oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Kapuas Hulu hingga Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Barat. Namun usaha ini belum berhasil sepenuhnya. PT UTG belum bersedia memberikan lahannya untuk dikelola oleh masyarakat.
Pada akhir tahun 2016, Pak Samsul dan teman-teman LPHD mulai mendapat pendampingan intensif atas dukungan dari MCAI. Sejalan dengan keluarnya peraturan baru terkait dengan proses pengusulan hutan desa, maka LPHD membuat usulan baru dan mengirimkannya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada bulan Desember 2016. Dalam beberapa bulan berjalan tidak ada informasi terkait perkembangan usulan yang telah disampaikan. Bahkan kabar terbaru yang memberikan peluang bagi Pak Samsul dan LPHD adalah berakhirnya masa perijinan perusahaan tambang PT. UTG di akhir bulan Juni 2017.
Samsul dan teman-teman LPHD senang mendengar berita baik ini. Kabar gembira ini tidak berumur panjang, karena pada bulan Juli 2017 pada kawasan hutan di Desa Nanga Yen tersebut telah terbit Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (IUPHTI) milik PT. Kayna Resource. Padahal dalam proses sosialisasi di kecamatan dan pembahasan studi amdal di Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang dihadiri oleh Pak Samsul sendiri, telah menyatakan menolak kehadiran perusahan HTI tersebut. Hal ini mendapat dukungan pihak pemerintah kecamatan, kabupaten dan provinsi yang hadir dalam pertemuan. Namun pada kenyataannya ijin untuk perusahaan HTI tersebut tetap keluar. Dari hasil analisis tim verifikasi Dirjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merekomendasikan bahwa ijin untuk Hak Pengelolaan Hutan Desa di Desa Nanga Yen tidak bisa dilanjutkan.
Sekali lagi jalan untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan desa oleh pak Samsul dan kawan-kawan di Desa Nanga Yen belum bisa terwujud. Diskusi panjang antar masyarakat juga terjadi, mereka tidak habis berpikir bagaimana hutan yang ada di dalam desa mereka tidak bisa mereka kelola sendiri walaupun hanya sebahagian. Dengan begitu bersemangan Pak Samsul mengungkapkan bahwa “Saya tetap akan berjuang untuk mendapatkan hak kelola hutan desa kami. Hutan yang ada di desa kami sudah kami kelola sejak lama, karena salah satu fungsinya adalah penyedia air untuk usaha pertanian menetap di Desa Nanga Yen”.
Pilihan lainnya adalah bagaimana mendorong kerjasama dengan perusahaan pemegang ijin pengelolaan HTI tersebut. Dalam perhutanan sosial hal itu dimungkinan, skema tersebut dikenal dengan istilah Kemitraan Kehutanan. Niat dan upaya ini sampai sekarang belum bisa terwujud. Perusahaan yang telah memiliki ijin tersebut belum ada kegiatan di lapangan, sehingga sampai belum ada ruang untuk membangun komunikasi dengan pihak perusahaan. Seandainya perusahaan tersebut memang serius untuk bekerja, paling tidak dalam waktu enam bulan sudah ada tanda-tanda kegiatan di lapangan.
Pak Samsul dan teman-teman LPHD di Desa Nanga Yen hanya bisa berharap kepada pihak terkait untuk memperhatikan kondisi mereka dalam memperjuangkan mendapatkan Hak Kelola terhadap hutan yang ada di desa mereka.
Oleh Imanul Huda